Handphone Untuk TKW Tidak Efektif

Oleh Yuli Andari Merdikaningtyas

Kasus penganiayaan Sumiati, tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia asal Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang bekerja di Arab Saudi menggemparkan tanah air pada akhir tahun lalu. Berbagai media cetak maupun elektronik berlomba memuat berita tersebut bahkan menayangkan perkembangan berita tersebut secara langsung lengkap dengan dialog para pakar dan pengamat di bidang pekerja migran. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) dan Badan Nasional Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNPTKI) sibuk menjawab pertanyaan berbagai media berkaitan dengan hal tersebut. Hebohnya kasus ini di media massa mendorong Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) berpidato khusus tentang kasus ini. Presiden mengatakan bahwa peristiwa kekerasan, penyiksaan, dan penganiayaan yang dialami oleh Sumiati adalah kasus luar biasa kejamnya yang dialami oleh seorang anak bangsa yang bekerja di negeri orang. Namun isi pidato presiden ini tidak lebih dari pernyataan basi dan selalu berulang-ulang disampaikan kepada publik sebagai formalitas seorang pemimpin, mengingat kasus penganiayaan terhadap TKW Indonesia bukanlah yang pertama kalinya terjadi.

Masih segar dalam ingatan kita kasus penyiksaan dan penganiayaan yang menimpa Nirmala Bonat, Siti Hajar, dan Ceriati. Kita tersentak tak percaya melihat bekas-bekas penyiksaan yang dialami oleh para TKW kita yang bekerja di Saudi Arabia maupun Malaysia. Sangat ironis, apa yang dialami oleh para TKW kita ini sangat tidak sepadan dengan gelar Pahlawan Devisa yang telah dilekatkan pada mereka oleh pemerintah. Mereka telah memberikan sumbangan devisa yang sangat besar bagi Indonesia, namun apa yang telah dilakukan oleh negara kepada mereka? Tidak ada perlindungan nyata yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya yang mencari penghidupan di negeri orang. Seumpama mereka tetap disebut sebagai Pahlawan Devisa, berarti negara ini adalah negara kerdil yang tidak bisa menghargai jasa para pahlawannya. Negara yang membiarkan rakyatnya bekerja di negeri orang, membanting tulang, mendapat siksaan, tanpa ada jaminan keselamatan yang bisa membuat rakyatnya tenang. Sejak dahulu hingga kini, kasus penyiksaan terus bertambah, namun tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan untuk memperbaiki posisi tawar tenaga kerja Indonesia di mata negara-negara pengimpor jasa TKW.

Dalam kasus Sumiati, Presiden SBY seolah-olah memberikan solusi dengan menginstruksikan kepada pejabat terkait agar para TKW dibekali handphone selama mereka bekerja dan akan membuka layanan call center untuk mempercepat penanganan kasus yang dialami oleh para TKW Indonesia selama masalah selama bekerja di luar negeri. Beberapa reaksi keras muncul seiring dengan pernyataan SBY tersebut. Gelombang demonstrasi para aktivis buruh migran dengan terang-terangan menolak pernyataan SBY. Mereka menganggap pemberian handphone kepada para TKW sebagai sebuah hal yang reaksioner, pragmatis, dan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang sebenarnya. Handphone maupun Call Center hanya merupakan media untuk berkomunikasi, yang sebenarnya tanpa diberikan oleh negara pun para TKW sanggup mengusahakannya sendiri. Yang harus dirubah adalah kebijakan dan kesepakatan bilateral antara Indonesia dan negara pengimpor jasa TKW seperti Saudi Arabia dan Malaysia. Selama ini, secara kasat mata kita bisa melihat bahwa  kebanyakan para TKW sudah memiliki handphone namun mereka tidak bisa menggunakannya karena belum adanya regulasi tentang penggunaan media untuk berkomunikasi dalam kontrak kerja mereka.


Terkait dengan hal tersebut, KUNCI Cultural Studies Center melakukan Focus Group Discussion (FGD) di kalangan pekerja migran (TKW) dalam rangka penelitian “Konvergensi Teknologi Media di Indonesia: Sebuah Perspektif Budaya”. Diskusi ini melibatkan para TKW, mantan TKW, dan anggota keluarga mereka. Diskusi berlangsung pada tanggal 17 Desember 2010, bertempat di Community Center Mandiri, Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.


Para peserta yang berpartisipasi aktif dalam diskusi tersebut rata-rata pernah menjadi TKW dengan negara tujuan Saudi Arabia. Ketika ditanya mengapa memilih menjadi TKW ke Saudi Arabia? Para partisipan rata-rata menjawab karena mereka merasa lebih senang bila bisa bekerja di negara yang memiliki kesamaan agama mayoritas yang dianut (Islam) dengan Indonesia. Selain itu ada keinginan yang besar untuk menunaikan ibadah haji. Mereka berharap selain mendapat uang yang banyak dengan bekerja mencari nafkah di Saudi Arabia, mereka juga bisa menunaikan ibadah haji. Di Lombok, terdapat pandangan bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji akan mendapat posisi yang terhormat di dalam komunitasnya. Mereka akan dihormati, dimintai saran dan masukan, juga menjadi orang terpandang yang selalu diundang pada acara hajatan adat dan agama. Sehingga seolah-olah kedudukan dan derajat yang semula biasa saja (batur jamak) akan naik kelas dalam komunitas masyarakat. Persoalan berhasil atau tidak mewujudkan cita-cita untuk mendapat penghasilan yang banyak di negeri orang semua tergantung nasib nasib masing-masing.

Diskusi ini difokuskan untuk membahas persoalan penggunaan handphone sebagai media untuk berkomunikasi, memetakan pola komunikasi yang dilakukan oleh para TKW dengan keluarga dan kerabat mereka, melihat adakah regulasi yang berlaku dalam rumah tangga tempat mereka bekerja terhadap penggunaan handphone, dan menanyakan langsung kepada para TKW tentang seberapa efektifkah instruksi presiden tentang rencana pemberian handphone kepada para TKW. Berikut ini ringkasan diskusi tersebut:

Menjadi TKW

Hj. Maskanah (28 tahun) sudah 3 kali berangkat sebagai TKW ke Saudi Arabia selama tahun 2004 – sekarang. Ia bekerja di tiga majikan yang berbeda. Pertama di Riyadh selama 2,5 tahun sebagai pembantu rumah tangga, lalu di Jeddah selama 4 tahun sebagai petugas cleaning service di sebuah rumah sakit, dan sekarang ia masih bekerja di Jizan sebagai karyawan sebuah perusahaan pengalengan ikan. Masa kerjanya di Jizan baru memasuki tahun pertama. Ia pulang ke Lombok setelah mendapatkan cuti selama 6 bulan dari majikannya. “Majikan saya bekerja di sektor kelautan. Banyak anak buahnya yang nangkap ikan sampai ke luar negeri. Pekerjaan saya hanya menjemur ikan saja. Kalau selesai kemudian dimasukkan dalam plastik dan dikirim ke luar negeri,” ceritanya. Sampai saat ini dia merasa bersyukur karena selalu mendapat majikan yang baik.

Selama ia bekerja di Saudi Arabia, pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang paling dianggapnya berat. Ia mulai bekerja sejak jam 7 pagi. Kalau majikannya memiliki anak usia sekolah, maka ia mulai bekerja jam 5 pagi. Setelah bangun pagi, ia menyiapkan susu dan sarapan untuk anak majikannya akan berangkat ke sekolah. Setelah itu ia membersihkan rumah. Jam 12 siang mulai masak untuk makan siang. Setelah itu pekerjaan tidak pernah berhenti sampai kadang-kadang ia baru tidur jam 1 dini hari. “ Belum lagi kalau majikan menyuruh saya untuk membersihkan rumah anak-anaknya. Sama saja saya bekerja di 2 majikan sekaligus dengan bayaran yang sama. Ya begitulah…dibilang enak ya ada tidak enaknya, kalau dibilang tidak enak ada juga enaknya. Namanya juga cari uang. Tidak ada hari libur. Kerja non stop,” katanya. Hj. Maskamah tinggal di rumah majikannya. Beratnya pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga hanya dirasakan pada tahun pertama berangkat ke Saudi Arabia. Setelah itu ia cukup senang bekerja di rumah sakit dan perusahaan pengalengan ikan. Jam kerja yang lebih teratur membuatnya memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat.

Cerita lain tentang pengalaman menjadi TKW dikemukakan oleh Hj. Hariati (38 tahun). Ia berangkat sebagai TKW ke Saudi Arabia pada tahun 1989, ketika baru lulus dari SMA. Sebenarnya keinginannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi sangat besar karena ia ingin menjadi guru. Namun, karena tidak adanya biaya menyebabkan Hj. Hariati mengubur cita-citanya dalam-dalam. Bersamaan dengan itu, banyak tetangganya yang bekerja ke Saudi Arabia. Iming-iming gaji yang besar dan mampu meningkatkan pendapatan keluarga membuatnya bertekad menjadi TKW. Pekerjaan di Saudi Arabia sebagai pembantu rumah tangga. Selama 17 tahun bekerja sebagai pembantu rumah tangga, ia hanya 2 kali pernah berganti majikan.

Ketika masa awal bekerja, Hj. Hariati merasa sering membuat majikannya marah. “Biasanya hal tersebut karena masalah pengetahuan bahasa yang masih terbatas. Tapi setelah lama-lama, saya bisa berbahasa Arab dan majikan mempercayai saya untuk mengangkat telpon atau menerima tamu yang datang,” ceritanya. Sejak tahun 2006 ia berhenti menjadi TKW dan memutuskan untuk mengurus orang tuanya di rumah.

Handphone Sebagai Alat Komunikasi Dan Obat Kangen

Merasa kesepian dan terasing di negeri orang, belum lagi perasaan kangen yang selalu muncul kepada keluarga dan kerabat di Indonesia merupakan alasan utama mengapa para TKW selalu berusaha untuk menelpon ke tanah air. Namun, kesempatan untuk bisa berkomunikasi dengan keluarga itu tidak tentu kapan datangnya. Penggunaan handphone di kalangan para TKW di Saudi Arabia masih sangat ketat. Bekerja di sektor rumah tangga yang tertutup dan terasing dari dunia luar, membuat mereka merasa sangat kesepian. Rata-rata para TKW ini dilarang memiliki dan menggunakan handphone. Sama seperti paspor dan dokumen penting lainnya, handphone juga disita oleh majikan ketika hari pertama bekerja. Akses untuk menggunakan handphone sama sekali tidak diperbolehkan walaupun hanya untuk mengabarkan bahwa para TKW sudah tiba dengan selamat di negeri orang. Biasanya para TKW menitip pesan kepada agen yang menjadi sponsor mereka untuk memberitahukan kepada orang tua tentang keadaan mereka. Namun kadangkala pesan tersebut ada yang sampai ada pula yang tidak.

Hj. Hariati bertutur tentang pengalamannya menghubungi keluarga melalui handphone. Hal tersebut ia alami setelah 9 tahun menjadi TKW. Ia memiliki handphone sejak tahun 1998. Waktu itu bisa dikatakan masih jarang para TKW memiliki handphone sendiri. Saat itu ia merasa sangat wajar ia memiliki handphone yang dihadiahi oleh majikannya karena ia telah bekerja lama pada majikannya tersebut. “Pertama kali punya handphone saya senang banget karena bisa berkomunikasi dengan keluarga. Sebelum itu saya berkomunikasi dengan keluarga melalui surat. Saya mengabari keadaan saya di Saudi juga melalui surat. Kadang suratnya cepat dibalas, kadang tidak. Kalau ada keluarga kita yang meninggal, setelah 3 bulan baru saya tahu kalau ada keluarga yang meninggal. Sejak ada handphone dalam 1 menit kita sudah tahu tentang berita meninggalnya keluarga di rumah. Saya merasa wajar dihadiahi handphone oleh majikan, soalnya saya sudah lama mengabdi padanya, setelah 9 tahun bekerja baru dikasih kepercayaan memiliki handphone sendiri,” katanya.

Cerita yang hampir sama dialami oleh Hj. Maskanah, ia mendapatkan kesempatan untuk menghubungi keluarga setelah 4 tahun bekerja di rumah majikan. Ketika pertama menghubungi keluarga, ia menghabiskan waktu 3 jam untuk mengobrol dengan keluarga dan teman-teman di tanah air. “Saking senangnya dapat kesempatan untuk berbicara lewat handphone dengan keluarga tidak terasa ngobrol selama 3 jam. Waktu itu majikan saya membelikan saya pulsa 200 Real dan meminjamkan handphone-nya untuk ngobrol dengan keluarga,” tuturnya. Hj. Maskanah bercerita bahwa kesempatan yang diberikan oleh majikannya untuk menelpon keluarga di tanah air adalah hadiah karena majikannya menilai ia tekun bekerja selama empat tahun di rumah majikannya.

Hj. Maskamah pernah bertanya kepada majikannya mengapa akses untuk berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia selalu dibatasi? “Jawaban yang saya terima adalah pertama majikan saya takut kalau saya memegang handphone saya akan mengobrol bersama para laki-laki. Kedua, majikan saya takut kalau bisa saya pegang handphone nanti saya ‘ada main’ sama suaminya. Lalu saya bilang sama dia, saya tidak akan setega itu sama dia karena niat saya bekerja menjadi pembantu rumah tangga bukan untuk merusak rumah tangga orang. Ketiga, majikan saya juga takut kalau saya akan kabur setelah bisa menelpon setiap saat. Ia khawatir kalau saya akan janjian dengan sesama orang Indonesia dan kabur dari rumahnya,” sambung Hj. Maskanah.  Pernah sekali waktu ia  mengusulkan agar uang gajinya dipotong sebagian untuk dibelikan handphone. Ia ingin sekali memiliki handphone sendiri agar bisa mengobrol dengan anak-anaknya di Indonesia, namun majikannya tetap tidak mau mengabulkan. “Kamu bisa pakai handphone saya kalau mau telpon anak-anak dan keluarga di Indonesia. Tetapi saya tidak ijinkan kamu untuk menelpon sesama orang Indonesia di sini,” begitu Hj. Maskanah menirukan jawaban majikannya.

Regulasi Handphone Selama Jadi TKW

Banyaknya kasus yang terjadi antara majikan dan TKW di Saudi Arabia sepertinya memperparah  ketidakpercayaan majikan kepada para TKW untuk memiliki handphone sebagai media untuk berkomunikasi. Banyak majikan yang berprasangka bahwa TKW akan menggunakan handphone sebagai media untuk bercerita kepada orang lain (sesama TKW atau perwakilan negara) tentang kondisi yang dialaminya selama bekerja. Selain itu, banyak prasangka yang muncul bahwa handphone akan digunakan oleh TKW sebagai sarana untuk mencari pekerjaan lain, kabur dari rumah majikan, atau sarana untuk menggoda majikan atau sesama tenaga kerja.

Prasangka-prasangka tersebut memang tidak bisa dipungkiri banyak terjadi. Menurut cerita Hj. Hariati ia pernah mendengar cerita tentang beberapa TKW yang tidak becus bekerja karena ia lebih senang menggoda majikannya atau lari bersama tenaga kerja laki-laki. Namun, tidak semua TKW seperti itu. “Semua ‘kan tergantung niat kita sejak awal berangkat dari Indonesia. Benar-benar ingin bekerja atau hanya ingin mendapat kesenangan di Saudi…” katanya.

Hal senada juga dituturkan Rapika (35 tahun), ia mengatakan bahwa sebenarnya ada beberapa regulasi yang ditetapkan oleh majikannya untuk menggunakan telpon rumah atau handphone. “Di rumah majikan saya, boleh pegang handphone tetapi ada peraturan tersendiri. Kita boleh menggunakan telpon kalau untuk menelpon keluarga di Indonesia, karena banyak juga kejadian para TKW main telpon dengan orang Arab sendiri. Itu pun tergantung nasib kita sendiri. Kalau nasib kita baik, belum bisa bahasa Arab pun kita boleh menelpon keluarga,” katanya.

Lebih lanjut, Rapika bercerita bahwa ia telah mendapat kepercayaan untuk berkomunikasi dengan keluarga menggunakan handphone setelah 3 bulan bekerja di Saudi Arabia. “Saya dibelikan handphone, kartu dan pulsanya diisikan sama majikan. Tetapi handphone itu hanya bisa saya gunakan untuk menelpon keluarga saja. Tidak boleh orang lain. Majikan saya selalu mengecek nomor-nomor yang saya hubungi,” ceritanya. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah buatnya, karena ia pun hanya perlu berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia. “Saya sedapat mungkin memegang kepercayaan majikan. Kalau saya dapat libur hari Jum’at dan Sabtu, pada saat itu majikan saya bertanya apakah saya ingin menelpon keluarga atau tidak. Kalau iya, maka ia akan belikan pulsa buat saya. Pada saat itulah, majikan saya mengecek handphone saya. Apakah handphone tersebut digunakan khusus untuk menelpon ke Indonesia atau ada nomor Arab yang kita hubungi. Kalau ketahuan ada nomor Arab, siapapun yang kita hubungi, maka handphone yang sudah diberikan pada pada saya itu akan dicabut,” katanya.

Kadang, ada pula TKW yang secara sembunyi-sembunyi memiliki handphone. Biasanya mereka baru menggunakan handphone setelah majikan keluar rumah. Secara diam-diam mereka menelpon dari dalam kamar mandi dengan volume suara seperti berbisik. Zohrah, keluarga seorang TKW yang ikut berpartisipasi dalam diskusi ini mengaku pernah menerima telpon dari saudaranya yang bekerja di Saudi Arabia. Suara saudaranya tersebut nyaris tidak bisa didengarnya karena sangat pelan. Saudara Zohrah bercerita dalam bahasa Sasak bahwa dirinya sedang menelpon secara sembunyi-sembunyi dalam kamar mandi. Tak berapa lamamereka mengobrol melalui handphone, tiba-tiba terdengar suara gedoran pintu yang sangat keras. Seketika obrolan melalui handphone tersebut putus. “Saya belum pernah dihubungi lagi sampai sekarang,” ujar Zohrah. Sri Ramadhani menambahkan cerita Zohrah tentang siasat yang dilakukan oleh kakaknya yang bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. “Kakak saya sampai sekarang belum ketahuan kalau punya handphone. Dia baru nelpon kalau majikannya pergi. Kalau majikannya sudah datang, cepat-cepat dia menyudahi pembicaraan dan mematikan telponnya lalu disimpan di bawah kasur. Entah gimana nasibnya kalau ketahuan ya,” tuturnya

Cerita Zohrah dan Sri Ramadhani tersebut ditanggapi oleh Rapika dan TKW lainnya sebagai sebuah pelanggaran aturan yang telah diterapkan majikan kepada TKW tersebut. Biasanya majikan akan memberikan hukuman yang cukup berat bila ketahuan melanggaran aturan. “Kalau tidak dikasih makan atau pekerjaan bertambah mungkin masih mendingan. Gimana kalau hukumannya berupa pukulan atau lebih berat dari itu. Saya sendiri merinding membayangkannya,” kata Rapika.

Secara umum belum ada regulasi standar yang menjadi acuan para majikan untuk memberikan hak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi bagi para TKW, termasuk diantaranya penggunaan handphone. Dalam kontrak kerja yang ditandatangani oleh para TKW pun, tidak tercantum tentang hak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Jangankan menggunakan handphone, memegang sendiri paspor–yang jauh lebih penting karena merupakan dokumen legal formal di negeri orang–pun tidak bisa diperoleh oleh para TKW ini. Sehingga tidak berlebihan apabila banyak TKW yang menyandarkan keberuntungan mereka bekerja di negeri orang berdasarkan nasib semata karena hak-hak mereka termasuk juga hak mendapat perlindungan oleh negara selama bekerja di negeri orang bagai mimpi yang tak pernah tergapai.

Promosi Produk Seluler Untuk Buruh Migran

Sebelum melakukan diskusi dengan para TKW dan keluarga mereka, kami juga melakukan pengamatan visual terhadap iklan-iklan produk seluler yang secara massif membombardir Kota Mataram hingga ke pelosok desa. Provider Indosat (Mentari, IM3, Matrix, dan Star One)mengeluarkan tiga seri iklan yang mempromosikan tarif murah untuk menelpon ke luar negeri yaitu ke Saudi Arabia, Timur Tengah (Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Yordania, dan Mesir), Malaysia, dan Korea. Sasaran iklan ini sangat jelas yaitu para keluarga, kekasih, teman, dan kerabat para buruh migran. Rupanya para provider ini dengan cepat membaca peluang bahwa di Lombok (mungkin juga di daerah yang memiliki buruh migran lainnya) ada kebutuhan untuk menelpon keluarga yang tengah bekerja di luar negeri. Bagi provider Indosat, berpromosi di NTB terutama pulau Lombok merupakan tempat berpromosi yang strategis dan efektif karena NTB merupakan provinsi pengirim TKW dan TKI terbesar kedua di Indonesia.

Persebaran media promosi provider Indosat ini terdiri dari baliho, spanduk, dan poster yang tersebar hampir di seluruh pulau Lombok. Pengamatan visual yang kami lakukan di jalan utama Kota Mataram hingga ketika kami melakukan perjalanan dari Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah dan Lombok Timur, iklan-iklan promosi tarif murah ini terpampang jelas mulai di jalan negara, jalan kabupaten hingga ke pelosok desa.

Provider tentu saja boleh berpromosi sebagai strategi penjualan untuk produk seluler mereka. Namun ketika hal tersebut kami munculkan dalam diskusi dengan para TKW dan keluarga mereka ternyata perang tarif murah yang ditawarkan oleh provider tidak terlalu berpengaruh dalam aktivitas komunikasi mereka. Promosi tarif murah yang ditawarkan kepada keluarga TKW ini tidak terlalu disambut antusias. Setidaknya hal ini terungkap dalam diskusi yang kami lakukan. Pada dasarnya, keluarga TKW lebih banyak menunggu telpon dari luar negeri karena dengan demikian mereka tidak mengeluarkan pulsa sedikit pun.

Sementara kalau nekat menelpon keluar negeri, para keluarga TKW ini sering mendapati status kartu sudah tidak aktif atau tidak tersambung ke nomor tujuan. Selain itu apabila nekat menelpon ke luar negeri mereka cukup berat untuk mengumpulkan uang minimal 15 ribu untuk membeli pulsa untuk bicara beberapa menit. “Uang sebanyak itu ‘kan bisa untuk makan sehari. Jadi sayang kalau harus terbuang untuk ‘membeli angin’ (istilah Zohrah untuk menyebut pulsa). Saya tidak terlalu percaya dengan promosi tarif murah yang gencar dilakukan oleh provider. Itu ‘kan hanya janji kita tidak terlalu tahu kapan masa berlaku promosi tersebut. Sehingga kalau kita menelpon ke luar negeri dan ternyata masa berlaku promosi tersebut telah habis, maka habis juga pulsa kita dengan cepat,” kata Zohrah.

Efektifkah Instruksi Presiden Tentang Pemberian Handphone Untuk TKW?

Kembali lagi ke persoalan penggunaan handphone di kalangan para TKW. Beberapa peserta diskusi tidak percaya bahwa Instruksi Presiden SBY tentang pemberian handphone kepada para TKW adalah solusi yang tepat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dialami oleh para TKW selama ini. Bagi mereka, selama belum adanya kesepahaman bilateral antara Indonesia dan Saudi Arabia terkait hak TKW, maka pemberian handphone kepada TKW seperti yang diinstruksikan tersebut tidak akan efektif terlaksana. Para peserta diskusi menyesalkan sikap pemerintah yang tidak tepat sasaran karena dilakukan secara reaksioner tanpa ada kajian mendalam sebelumnya dan tanpa melibatkan dan mendengar pendapat para TKW.

Menanggapi hal ini, Rapika berpendapat bahwa tidak akan terjadi perubahan regulasi dan kesepakatan baru antara Indonesia dan Saudi Arabia terkait masalah TKW. “Kalau menurut saya ya, tidak akan pernah terwujud peraturan tentang TKW bisa membawa handphone. Meskipun itu pidato presiden yang menginstruksikan agar bisa dibekali para TKW dengan handphone. Saya rasa itu juga tidak akan efektif sebelum adanya MoU (Memorandum of Understanding: nota kesepahaman) antara Indonesia dan pemerintah Saudi Arabia. Saya dengar saja, Saudi Arabia adalah negara yang tidak mau menandatangani MoU tersebut. Apalagi pemerintah kita hanya bertindak ketika ada kasus saja. Saudi Arabia itu ‘kan negara yang tertutup. Semua barang kita dipegang oleh majikan apabila mulai bekerja, termasuk passport kita. Jadi percuma saja kalau kita dikasih handphone, tetapi tidak ada peraturan di sana tentang penggunaan handphone bagi TKW,” ungkapnya.

Menambah pendapat Rapika, Hj. Hariati mengatakan bahwa instruksi yang dikeluarkan oleh Presiden SBY tentang pemberian handphone kepada TKW hanya berupa reaksi sesaat untuk membendung pemberitaan media massa saja. “Nanti kalau pemberitaan sudah reda, paling juga pihak terkait lupa lagi mengurus masalah TKW. Kalaupun pemberian handphone tetap akan dilaksanakan, itu tidak akan mungkin berjalan sesuai rencana dan tidak akan tepat sasaran. Buktinya, kita datang langsung kepada orang KBRI di Saudi Arabia saja tidak diperdulikan. Apalagi melalui telepon. Justru kita yang kita inginkan, para TKW ini dikumpulkan di setiap daerah dan dihadapkan kepada Bapak Presiden biar kita ngomong langsung dengannya. Kalau orang Kedutaan itu selalu laporannya yang baik-baik saja kepada Presiden, mana pernah dia menyampaikan kenyataan yang kita alami selama bekerja di Saudi,”tuturnya dengan semangat.

Masalah regulasi juga akhirnya dikaitkan dengan mentalitas dan kinerja aparat pemerintah terutama KBRI di Saudi Arabia yang kerap kali menangani masalah TKW. Kinerja mereka selama ini dianggap tidak berpihak dan terkesan tidak membantu persoalan yang dihadapi para TKW. “Pernah saya punya masalah di Saudi beberapa tahun lalu. Bukannya membantu, orang KBRI malah memarahi saya dengan kata-kata yang tidak pantas. Saya berpikir, kita sama-sama orang Indonesia tetapi kok saya diperlakukan seperti ini. Malah kesannya seperti makan teman sendiri,” tutur Rapika. Hal senada juga disampaikan oleh Hj. Hariati, “Bahkan ya Mbak, saya pernah tanya ke beberapa teman yang ditampung di KBRI di Saudi Arabia karena bermasalah. Mereka sudah lebih setahun tidak dipulangkan. Malahan mereka dijadikan pembantu oleh orang kedutaan membuatkan minum atau kadang juga yang cantik-cantik dikerjain oleh orang kedutaan. Mereka bukannya membantu malah memanfaatkan keberadaan para TKW bermasalah itu,” tambahnya.

Menutup diskusi tentang handphone, Rapika menggarisbawahi tentang pentingnya regulasi yang berpihak pada para TKW. “Selama tidak ada regulasi negara yang berpihak kepada hak-hak TKW, maka bagi saya hanya ada satu aturan yang berlaku yaitu aturan otoriter dari majikan saya. Kenapa saya bilang begini, saya pernah dibekali setumpuk kertas berisi peraturan kerja, apa hak dan kewajiban saya secara tertulis dan telah saya tandatangani. Tetapi sampai di rumah majikan setumpuk peraturan itu masuk dalam tong sampah. Jadi percuma saja. Perturan itu hanya berlaku di Indonesia, tetapi di Saudi yang berlaku hanya aturan dari majikan saya. ***