BHS SNGKTN D SMS
oleh: Ferdiansyah Thajib
Sebagian dari kita mungkin sudah cukup terbiasa menunjuk fenomena penggunaan bahasa singkatan dalam pengiriman pesan pendek atau SMS dengan istilah bahasa Alay (atau Al4y, dalam berbagai kombinasi angka, huruf dan simbol yang dimungkinkan oleh teknologi pengetikan digital). Di sini saya sengaja memakai istilah “bahasa singkatan” sebagai judul (baca: Bahasa Singkatan di SMS) dan bukan “bahasa Alay” karena berbagai alasan yang akan saya uraikan di tubuh tulisan ini. Pada gilirannya topik bahasa Alay sendiri menjadi satu dari banyak jalan masuk yang saya pakai untuk memaknai gejala penggunaan bahasa digital di Indonesia secara lebih dalam, khususnya melalui teknologi telepon genggam.
Belum berapa lama milis KUNCI-L di yahoogroups sempat diramaikan dengan silang pendapat mengenai fenomena Alay di Indonesia. Diskusi bermula dari surat elektronik seorang anggota milis KUNCI, yang waktu itu menyatakan niatnya untuk mengangkat fenomena Alay sebagai topik skripsinya, sekaligus meminta masukan dari segenap anggota milis lain mengenai isu tersebut. Dalam kurun waktu tersebut pula berbagai media mulai marak memberitakan fenomena Alay, dari yang sifatnya deskriptif, investigatif, sampai dengan sarkastis.
Alay hadir dan bergulir sebagai wacana dalam berbagai forum, dan terus berkembang dengan diciptakannya istilah-istilah lain seperti “Ababil” (ABG- [Anak Baru Gede] Labil) dan seterusnya. Substansi perdebatan di seputar Alay umumnya menunjuk pada persoalan budaya anak muda, isu kelas dan gengsi, pilihan gaya pakaian, dandanan dan potongan rambut, selera musik, dan yang terakhir yang cukup menonjol dan akan saya coba uraikan di sini adalah masalah bahasa tulis yang dipakai kalangan ini di media digital, baik itu di internet (situs jejaring sosial, blogging, forum diskusi online), handphone, maupun dalam media televisi yang sudah berkonvegensi dengan internet dan handphone (seperti penayangan pesan-pesan via sms/ surel di layar kaca melalui animasi grafik maupun rolling text).
Alay, singkatan dari “Anak Layangan” (?) merupakan stereotip yang dilekatkan pada anak-anak muda yang semakin sering kita jumpai lewat media konvergensi maupun kenyataan sehari-hari dalam konotasi yang kampungan, sok gaul, murahan, dan konyol. Dalam konteks bahasa, pada saat yang bersamaan, beberapa amatan mencoba menariknya sampai ke sebuah bentuk perlawanan terhadap budaya arus utama dan penggunaan bahasa resmi. Penjelasan tersebut ditarik dari bagian dari gejala sejarah yang lebih panjang dalam perkembangan bahasa prokem atau slang di Indonesia yang selalu berkembang subur di hadapan kekuasaan. Amatan lain (mataharitia, komunikasi via milis KUNCI-l, tanggal 30 April 2010 ) juga mendudukkan gejala ini pada bagian dari ekspresi budaya, sekaligus pembentukan identitas, keanak-mudaan itu sendiri, – atau menurut istilah Mataharitia, mengutip Thorstein Veblen dengan “the conspicuous society”-nya sebagai kesenangan dalam konsumsi media. Satu hal yang tidak luput dimaknai dalam ragam pengamatan di atas adalah peran penting percepatan teknologi media itu sendiri yang memungkinkan tampilan-tampilan teks seperti di gambar-gambar berikut ini.