JURNAL

Yang tersisa 3 jam kemudian

oleh Syafiatudina

Rabu, 23 Juni 2010.
Hari ini, satu-satunya rencana saya adalah pergi ke daerah Karaban, untuk bertemu dengan pemilik counter Antaboga Cell, Bapak Nurhadi. Saya berjanji untuk datang pada pukul 5 sore. Selain janji tersebut, sebenarnya saya tidak punya kegiatan lain.

Jam menunjukkan pukul 11 siang. Saya sudah mandi, membereskan kamar, makan dua nasi bungkus, mendengarkan dua kali album The Life Pursuit, dan masih merasa bosan. Sedikit tidak terima, karena masih siang dan saya sudah merasa ngantuk, maka saya memutuskan untuk pergi ke warnet terdekat. Sebelum menuju warnet, saya memutuskan untuk melewati alun-alun Pati.

Ketika saya sampai di alun-alun, saya merasa agak aneh. Alun-alun Pati yang biasanya sangat bersih di pagi hari, sekarang terlihat agak kotor. Sampah plastik dan kertas bertebaran, khususnya di depan kantor Bupati. Alun-alun pun terlihat sepi. Dua dugaan muncul dalam benak saya. Pertama, petugas kebersihan bangun kesiangan, sehingga terlambat mengangkut sampah pasar kaget di malam sebelumnya. Kedua, hujan plastik-kertas baru saja turun di sekitar alun-alun.

Dan ternyata dua tebakan saya telah salah total. Hari ini, jam 9 pagi, berbagai ormas Islam berunjuk rasa untuk menuntut ditutupnya berbagai tempat hiburan dan karaoke di daerah Pati. Ketika mengitari alun-alun untuk kedua kalinya, saya menemukan berbagai spanduk yang tampaknya merupakan bagian dari demonstrasi tersebut.

Jam 12 siang, para ormas ini meninggalkan alun-alun dan bergerak menuju salah satu tempat karaoke di perbatasan kota Pati, yaitu Las Vegas. Berikut adalah foto-foto spanduk dari aksi unjuk rasa tersebut, yang masih terpasang di alun-alun Pati, hingga jam 12 siang ini. Berita lebih lanjut mengenai aksi ini dapat dilihat lewat link ini.

Kunjungan Pertama ke Pati

oleh Ferdiansyah Thajib

Salah satu mural di Kota Pati, Foto: Antariksa

Melewati kota Semarang, travel tujuan Pati yang saya tumpangi singgah beberapa kali di kota antara seperti  Demak dan Kudus. Tampaknya saya masih menjadi satu-satunya penumpang di shuttle bus bobrok ini pada malam Selasa 11 Mei 2010 selain satu bagasi penuh paket-paket yang harus diantarkan ke alamat-alamat di kota-kota yang barusan saya sebut.  Perhatian saya di sepanjang jam-jam terakhir perjalanan selama kurang lebih 6 jam tersebut tersita pada Alun-alun di beberapa kota Utara pulau Jawa tersebut sambil membanding-bandingkannya dengan Alun-alun Yogyakarta. Lebih karena kebiasaan yang saya kembangkan sejak terlibat di Space/Scape Project, saya kira.

Perjalanan memasuki wilayah kabupaten Pati ditandai dengan baliho-baliho bertajuk Kios Dua Kelinci Bertanduk yang membimbing para pelintas Jalan Raya Pati-Kudus dengan informasi  berapa jarak yang masih perlu ditempuh untuk mencapai Pati Bumi Mina Tani. 8km menuju tempat bermain dua kelinci bertanduk, 4km lg, 2km lagi, 1 km lagi, dan  kemudian  tampak berdiri sebuah  kios megah (jika dibandingkan dengan bangunan lain di sekitar)di depan pabrik Kacang Dua Kelinci. Kios ini menjual produk oleh-oleh “khas” berupa kacang-kacangan, pilus, minuman instan dan makanan dalam kemasan lainnya. Di sana pula orang bisa melihat pajangan dua kelinci bertanduk (jackalope) yang diawetkan, hewan yang hidup di Amerika dan dianggap imajiner.

Sebagaimana sudah diketahui luas, Pati merupakan basis lokasi produksi bagi industri kacang seperti Garuda Food dan Dua Kelinci. Sumbangan kedua industri ini pada lapangan pekerjaan dan sektor ekonomi daerah mestinya tidak kecil. Kesan itu setidaknya saya tangkap dari gantungan kunci penginapan yang saya huni selama kunjungan, dengan brand Kacang Dua Kelinci sebagai sponsor utama.

Semakin mendekati kota, pemandangan malam  berupa kegelapan di atas sawah yang menyelingi rumah-rumah penduduk semakin tergantikan dengan  bangunan-bangunan karaoke yang kian  merapat, mulai dari yang paling remang-remang sampai yang gemerlapan. Maraknya karaoke ini menjadi penanda lain yang membedakan, setidaknya, dengan kota-kota yang saya jumpai sebelumnya.

“Fenomena karaoke ini mulai ramai mengisi perbincangan publik di Pati sejak lima tahun belakangan, tahun 2005”, demikian ujar Agung, salah satu warga yang saya jumpai di hari-hari pertama saya singgah di kota Pati.  Terkait dengan karaoke, isu prostitusi terselubung yang diberlangsungkan di ruang-ruang ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan sebagian pemangku kepentingan[1], di mana para pemandu karaoke (PK) dianggap menodai citra Pati. “Tapi 70% dari para PK itu datang dari luar Pati, kebanyakan dari Jepara dan Kudus,” Agung yang aktif mendampingi para pekerja seks komersil lokal ini menjelaskan. Ia juga menambahkan bahwa ramainya karaoke di kabupaten ini, -termasuk juga di pedesaan,  banyak dipengaruhi dengan tingginya permintaan klien yang datang dari  kedua kota yang berlokasi  di Barat dan Timur kota Pati tersebut, “Soalnya pemerintah kabupaten Kudus dan Jepara tidak memberikan ijin pendirian hiburan malam, karena pemerintah lokal sini lebih lunak,  maka pasar pun terbentuk, -terutama untuk komuter Kudus dan Jepara yang haus hiburan malam. Pati Bumi Mina Tani pun jadi Pati Bumi 1000 Karaoke.”

Selain karaoke, hal lain yang cukup menarik perhatian adalah hampir ditemukannya bisnis fotokopi di jalan-jalan yang saya lintasi di Pati. Ketika esok harinya saya melakukan perjalanan ke Tayu (kecamatan yang berlokasi di perbatasan utara wilayah Pati, )misalnya, façade kota-kota kecamatan yang saya lalui umumnya ditegaskan dengan merapatnya  bangunan-bangunan  pemerintahan tingkat kecamatan, pasar tradisional yang kumuh dan rumah-rumah toko (ruko) yang lebih modern (minimalis?) yang diisi oleh warung internet, kios fotokopi, dan yang menjadi topik utama dalam penelitian ini dan akan dibahas secara mendalam dalam kesempatan-kesempatan selanjutnya, -kios handphone.


[1] Lihat http://hiburan.kompasiana.com/group/gosip/2010/01/09/pati-kota-karaoke/

Viking Kota Mangga

oleh Nuraini Juliastuti

Ketika saya tunjukkan gambar-gambar tentang suporter berat Persib ini, Ayu (16th), informan yang baru saja saya temui tadi sore, mengatakan bahwa saya telah memotret markas lama para Viking, begitu biasanya para suporter Persib ini minta disebut. Markas ini terletak di daerah Paoman, sentra batik kota ini. Saat saya dan Andari melewati depannya, rumah itu memang dalam keadaan tertutup. Hanya ada aneka lukisan di dinding-dinding rumah dan tembok pagar berwujud lambang Persib dan Viking yang menunjukkan hubungan erat antara rumah itu dengan kesebelasan sepak bola tersebut.

Dalam usaha kami mencatat hal-hal yang menjadi sumber inspirasi anak muda, kehadiran Viking dari Indramayu ini sangat menarik. Mengapa banyak anak muda Indramayu mengidolakan Persib? Tetapi dua minggu lalu, saya berpapasan dengan sebuah truk yang mengangkut rombongan superter Persija Jakarta alias The Jak di perempatan Pasar Trisi.  Apakah popularitas Persib dan Persija ini terjadi semata-mata karena kedekatan geografis? Sementara ini, saya berhenti di pemikiran bahwa mungkin pengkultusan Persib dan Persija itu terjadi karena kota ini sendiri tidak punya kesebelasan sepak bola yang bisa dibanggakan. (Semua foto diambil oleh Yuli Andari Merdikaningtyas)



Situs ini menggunakan lisensi Creative Commons Lisence BY-SA-NC.
RSS // Ruang Laba