Kunjungan Pertama ke Pati
oleh Ferdiansyah Thajib
Melewati kota Semarang, travel tujuan Pati yang saya tumpangi singgah beberapa kali di kota antara seperti Demak dan Kudus. Tampaknya saya masih menjadi satu-satunya penumpang di shuttle bus bobrok ini pada malam Selasa 11 Mei 2010 selain satu bagasi penuh paket-paket yang harus diantarkan ke alamat-alamat di kota-kota yang barusan saya sebut. Perhatian saya di sepanjang jam-jam terakhir perjalanan selama kurang lebih 6 jam tersebut tersita pada Alun-alun di beberapa kota Utara pulau Jawa tersebut sambil membanding-bandingkannya dengan Alun-alun Yogyakarta. Lebih karena kebiasaan yang saya kembangkan sejak terlibat di Space/Scape Project, saya kira.
Perjalanan memasuki wilayah kabupaten Pati ditandai dengan baliho-baliho bertajuk Kios Dua Kelinci Bertanduk yang membimbing para pelintas Jalan Raya Pati-Kudus dengan informasi berapa jarak yang masih perlu ditempuh untuk mencapai Pati Bumi Mina Tani. 8km menuju tempat bermain dua kelinci bertanduk, 4km lg, 2km lagi, 1 km lagi, dan kemudian tampak berdiri sebuah kios megah (jika dibandingkan dengan bangunan lain di sekitar)di depan pabrik Kacang Dua Kelinci. Kios ini menjual produk oleh-oleh “khas” berupa kacang-kacangan, pilus, minuman instan dan makanan dalam kemasan lainnya. Di sana pula orang bisa melihat pajangan dua kelinci bertanduk (jackalope) yang diawetkan, hewan yang hidup di Amerika dan dianggap imajiner.
Sebagaimana sudah diketahui luas, Pati merupakan basis lokasi produksi bagi industri kacang seperti Garuda Food dan Dua Kelinci. Sumbangan kedua industri ini pada lapangan pekerjaan dan sektor ekonomi daerah mestinya tidak kecil. Kesan itu setidaknya saya tangkap dari gantungan kunci penginapan yang saya huni selama kunjungan, dengan brand Kacang Dua Kelinci sebagai sponsor utama.
Semakin mendekati kota, pemandangan malam berupa kegelapan di atas sawah yang menyelingi rumah-rumah penduduk semakin tergantikan dengan bangunan-bangunan karaoke yang kian merapat, mulai dari yang paling remang-remang sampai yang gemerlapan. Maraknya karaoke ini menjadi penanda lain yang membedakan, setidaknya, dengan kota-kota yang saya jumpai sebelumnya.
“Fenomena karaoke ini mulai ramai mengisi perbincangan publik di Pati sejak lima tahun belakangan, tahun 2005”, demikian ujar Agung, salah satu warga yang saya jumpai di hari-hari pertama saya singgah di kota Pati. Terkait dengan karaoke, isu prostitusi terselubung yang diberlangsungkan di ruang-ruang ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan sebagian pemangku kepentingan[1], di mana para pemandu karaoke (PK) dianggap menodai citra Pati. “Tapi 70% dari para PK itu datang dari luar Pati, kebanyakan dari Jepara dan Kudus,” Agung yang aktif mendampingi para pekerja seks komersil lokal ini menjelaskan. Ia juga menambahkan bahwa ramainya karaoke di kabupaten ini, -termasuk juga di pedesaan, banyak dipengaruhi dengan tingginya permintaan klien yang datang dari kedua kota yang berlokasi di Barat dan Timur kota Pati tersebut, “Soalnya pemerintah kabupaten Kudus dan Jepara tidak memberikan ijin pendirian hiburan malam, karena pemerintah lokal sini lebih lunak, maka pasar pun terbentuk, -terutama untuk komuter Kudus dan Jepara yang haus hiburan malam. Pati Bumi Mina Tani pun jadi Pati Bumi 1000 Karaoke.”
Selain karaoke, hal lain yang cukup menarik perhatian adalah hampir ditemukannya bisnis fotokopi di jalan-jalan yang saya lintasi di Pati. Ketika esok harinya saya melakukan perjalanan ke Tayu (kecamatan yang berlokasi di perbatasan utara wilayah Pati, )misalnya, façade kota-kota kecamatan yang saya lalui umumnya ditegaskan dengan merapatnya bangunan-bangunan pemerintahan tingkat kecamatan, pasar tradisional yang kumuh dan rumah-rumah toko (ruko) yang lebih modern (minimalis?) yang diisi oleh warung internet, kios fotokopi, dan yang menjadi topik utama dalam penelitian ini dan akan dibahas secara mendalam dalam kesempatan-kesempatan selanjutnya, -kios handphone.
[1] Lihat http://hiburan.kompasiana.com/group/gosip/2010/01/09/pati-kota-karaoke/


