oleh Yuli Andari Merdikaningtyas
Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Indramayu, salah satu kabupaten di Jawa Barat yang selama ini saya kenal melalui liputan di media massa maupun dari cerita teman-teman yang pernah ke sana. Kedatangan saya ke Indramayu untuk persiapan penelitian tentang penggunaan handphone dan konvergensi media. Saya melakukan observasi lapangan bersama seorang teman. Kami berangkat dari Yogyakarta dengan menggunakan travel. Untuk melakukan observasi lapangan ini kami mendapat jatah waktu satu minggu untuk melakukan pengamatan, mencari kontak di lapangan, dan mencari tempat yang akan kami jadikan base camp selama penelitian berlangsung. Beberapa hal yang saya baca dan dengar tentang Indramayu selalu diidentikkan citra negatif. Bila mendengar tentang Indramayu, yang terlintas dalam benak saya adalah daerah yang kebanyakan penduduknya menjadi buruh migran atau sebagai daerah pemasok pekerja seks komersial untuk daerah Jakarta, Batam, dan Singapura. Tentu saja apa yang ada dalam benak saya ini tidak sepenuhnya benar.
Saya berangkat ke Indramayu bersama Dina. Kami sampai di Indramayu pada pukul 04 dinihari setelah hampir 12 jam perjalanan yang cukup melelahkan. Travel mengantar kami ke rumah Mas Ipang, sepupu seorang teman yang akan menjadi guide kami selama di Indramayu. Rumah Mas Ipang terletak di kecamatan Sindang, sekitar 15 menit dari pusat kota Indramayu. Mas Ipang ternyata pernah punya toko yang menjual handphone dan ia menceritakan tentang dinamika handphone di Indramayu dari perspektifnya sebagai penjual. Kami langsung semangat lagi dan mengobrol beberapa saat tentang handphone serta menjelaskan focus penelitian kami. Dengan senang hati dia akan membantu kami terutama akan menghubungkan kami dengan teman-temannya yang memiliki usaha handphone. Setelah ngobrol-ngobrol seputar handphone dengan tuan rumah, akhirnya kami istirahat pada pukul 5 pagi.
Hal pertama yang kami lakukan setelah bangun siang adalah berkeliling kota sambil melihat-lihat suasana Indramayu. Sepanjang perjalanan dari Sindang menuju pusat kota Indramayu, di kiri dan kanan jalan banyak terdapat kompleks perkantoran pemerintah maupun sekolah-sekolah. Ketika melewati sebuah jembatan, tampak beberapa spanduk provider handphone yang bertengger di atas tiang-tiang jembatan. “Simpati…Facebook Banget” adalah salah satu tagline yang sangat menarik perhatian saya. Spanduk-spanduk provider handphone seakan-akan berebut ruang tayang dengan spanduk-spandung para calon Bupati Indramayu. Semakin memasuki pusat kota, semakin banyak spanduk dan baliho provider handphone: Telkomsel, Indosat, XL, 3, Axis, Flexi, Fren, dan Esia. Kios-kios kecil yang menjual handphone dan aksesorisnya juga berjejeran di sepanjang jalan Sudirman, jalan utama kota Indramayu.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah kos, sekilas saya melihat hamparan sawah luas yang mulai menguning dengan aktivitas para petani yang mulai memanen padi. Inilah gambaran Indramayu sebagai daerah agraris yang berada di jalur pesisir pantai utara pulau Jawa (Pantura) yang hiruk pikuk. Ada baiknya bila saya mencoba melihat dan mengamati Indramayu sebagai sebuah kota tanpa ada embel-embel ini itu dan mengkondisikan pengamatan saya kepada Indramayu sebagai sebuah daerah yang bergerak dinamis.
***
Catatan Pertama: Handphone Dari Perspektif Penjual
Berawal dari ponsel dan kartu perdana seken
Maraknya penggunaan ponsel di Indramayu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan sebuah toko bernama Lestari. Toko ini dirintis oleh seorang pengusaha lokal bernama Iman pada tahun 1998. Iman yang awalnya bekerja di Jakarta mulai merintis toko Lestari dengan cara mengumpulkan dan menampung ponsel dan nomor bekas dari Jakarta. Pada saat itu harga ponsel baru beserta kartu perdana masih sangat tinggi. Iman merintis toko Lestari dengan dibantu oleh istrinya Lusi, dan adiknya Ipang. Rupanya ponsel dan nomor bekas yang dipasok dari Jakarta ini selalu laku keras bahkan banyak masyarakat Indramayu yang bersedia mengantri untuk mendapatkan ponsel dan nomor bekas tersebut. Karena banyaknya permintaan di Indramayu, tak jarang mereka memperoleh dan menampung ponsel dan kartu perdana dari para pencopet di Jakarta yang kemudian dijual dengan harga yang cukup tinggi di Indramayu. Para pembeli ponsel yang kemudian menjadi pelanggan loyal toko Lestari adalah para pegawai negeri, pejabat pemerintah, dan pengusaha lokal. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan ponsel dan kartu perdana seken kemudian berkembang menjadi sebuah toko ponsel yang sangat lengkap. Bekerjasama dengan distributor Nokia Indonesia di Jakarta, toko Lestari menjadi penjual ponsel baru yang bergaransi resmi dari Nokia Indonesia. Begitu juga dengan provider-provider seperti Telkomsel, Indosat, dan Exelcomindo. Penjualan satu ponsel rata-rata bisa mencapai keuntungan minimal 200 ribu rupiah. Bisnis ponsel perlahan-lahan mulai dilirik oleh pengusaha lainnya. Selain Lestari, di wilayah Indramayu saat itu juga ada tiga toko ponsel kecil yang juga ramai pembeli.
Ponsel perlahan-lahan menjadi benda budaya baru dalam masyarakat Indramayu. Banyak masyarakat yang mulai tertarik memiliki ponsel. Harga ponsel yang masih mahal ditambah lagi dengan susahnya memperoleh nomor perdana membuat sebagian besar masyarakat rela antri. Pak Arsyad, pengusaha studio recording di Indramayu, bercerita bahwa ia mendapatkan nomor dengan cara mengantri selama 6 bulan. Ia mendaftarkan identitasnya terlebih dahulu melalui toko Lestari agar bisa mendapatkan ponsel dan nomor perdana. Karena rumitnya proses mendapatkan ponsel dan nomor perdana, para pembeli yang tidak sabar akhirnya membeli nomor seken yang kebanyakan berasal dari Jakarta. Menurut Ipang, penggunaan nomor seken ini memiliki banyak konsekuensi. Ia sering mendengar keluhan dari pemilik nomor seken tentang telpon salah sambung, dimarahi ataupun diteror oleh orang yang tak dikenal. “Namanya saja nomor seken, pasti ada terjadi masalah sehingga orang nekat ganti nomor. Pada tahun 1998-1999 nomor perdana masih sangat mahal sekitar 300 ribu – 700 ribu kalau nomornya nomor cantik. Jadi tidak akan semudah itu orang ganti nomor kalau tidak kepepet: terlilit utang, ketahuan selingkuh, atau karena musibah: ponsel dicopet. Tidak seperti sekarang nomor perdana ada yang seharga 2 ribu rupiah,” cerita Ipang.
Selain menjual ponsel dan nomor perdana, toko Lestari juga menjadi tempat rujukan masyarakat untuk menanyakan cara pemakaian ponsel, berkonsultasi tentang ponsel yang sesuai dengan uang yang tersedia, bahkan sekaligus membuka layanan perbaikan ponsel. Penjualan aksesoris seperti chasing, pernak-pernik gantungan ponsel, penguat sinyal, dan kantung penyimpan ponsel juga laku keras.
Semua Bisa Menggenggam Ponsel
Indramayu memiliki jumlah penduduk kurang lebih 1,6 juta jiwa (menurut catatan Wikipedia). Sebagian besar penduduk Indramayu bekerja sebagai petani, sisanya pedagang, nelayan, buruh migran, dan pegawai negeri. Sebagai salah satu sentra buruh migran terbesar di Indonesia, mobilitas penduduk yang datang dan pergi juga meningkat dari tahun ke tahun. Arus keluar masuk penduduk ini juga ikut membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan cara mereka berkomunikasi. Sebelum era ponsel, terdapat banyak sekali warung telekomunikasi (wartel) di Indramayu. Wartel ini banyak digunakan untuk memfasilitasi komunikasi dengan keluarga maupun kerabat di luar kota maupun luar negeri. Fasilitas yang disediakan oleh wartel berupa Telpon Umum Tunggu (TUT) menjadi fasilitas favorit karena tidak semua keluarga memiliki telpon rumah. Pelayanan 24 jam yang disediakan wartel selalu dinanti-nanti oleh masyarakat terutama pada jam-jam diskon. Era wartel perlahan-lahan tergantikan oleh era ponsel di akhir tahun 1999. Masuknya ponsel ke Indramayu selain melalui jalur distribusi barang dari Jakarta, juga melalui para buruh migran yang pulang kampung. Biasanya mereka membawa beberapa ponsel sebagai hadiah untuk anggota keluarga mereka. Ponsel semakin memudahkan para buruh migran untuk berkomunikasi sengan keluarga mereka apalagi mereka dapat berkomunikasi setiap saat tanpa harus terlebih dahulu antri seperti ketika mereka berkomunikasi di wartel.
Penjualan ponsel di Indramayu meningkat drastis pada setiap musim panen. Pada masa panen, banyak para petani yang memegang uang secara tunai sampai puluhan juta rupiah. Pada saat inilah masyarakat mendatangi kota untuk membeli alat komunikasi, alat elektronik rumah tangga, emas, maupun sepeda motor. Pada saat-saat panen, toko maupun konter yang menjual ponsel baik besar maupun kecil ramai dikunjungi oleh pembeli. Merk paling laris yang dibeli pada konsumen ini adalah NOKIA. Alasannya, apabila dibandingkan dengan merk lain, NOKIA memiliki bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu yang kebanyakan dimiliki merk lain. Sebagai benda baru, para konsumen ponsel ini biasanya terlebih dahulu akan menanyakan kepada penjual tentang merk apa yang bagus, fitur apa yang ia butuhkan dan harga yang sesuai dengan anggarannya. Trisikomsel, salah satu toko ponsel yang berada di kecamatan Trisi, Indramayu selalu menuai keuntungan saat musim panen. Letak konter yang sangat strategis di dekat pasar Trisi selalu didatangi oleh pembeli setempat maupun pembeli-pembeli dari kecamatan lain yang jaraknya dekat. Menurut penuturan Sigit, pemilik Trisikomsel, ia bida menjual 5-10 ponsel perhari ketika masa panen. Dari penjualan setiap ponsel ia mendapat keuntungan bersih minimal 200 – 700 ribu. Masa keemasan ponsel terjadi pada tahun 2006 – 2007. Pada saat itu, banyak pengusaha ponsel mampu membeli rumah di kompleks perumahan elit maupun mobil dari hasil keuntungan usahanya.
Serbuan Produk Cina: Asal ada Bluetooth, Facebook, dan Harganya Murah
Sejak tahun 2007 akhir, ponsel Cina sebenarnya sudah masuk secara illegal melalui Batam. Namun produk Cina mulai menyerbu pasar Indonesia setelah adanya regulasi perdagangan bebas yang mulai berlaku pada tahun 2009. Di berapa media, ponsel Cina kadangkala disebut dengan nama produk lokal. Produk Cina menawarkan harga murah namun menyediakan layanan yang sedang tren bagi konsumen saat ini: Facebook dan Twitter. Hanya dengan harga 1 juta, konsumen sudah mendapatkan fasilitas Bluetooth, Facebook, Musik, Video, Kamera, dan sebagainya. Bahkan harga ponsel juga bisa menjadi jauh lebih murah. Masuknya ponsel Cina mulai bersaing bahkan cenderung mengacaukan penjualan beberapa merk yang sudah mapan di Indonesia seperti NOKIA dan Sony Ericson. Kabar terbaru yang diperoleh dari marketing NOKIA di Bandung, penjualan NOKIA turun drastic sampai 40% sedangkan Sony Ericson hampir kolaps karena penjualannya menurun sampai 90%.
Kami mengamati rubrik iklan di koran lokal Radar Indramayu dan menemukan beberapa iklan produk Cina. Selain itu, di Indramayu mulai bermunculan beberapa konter ponsel baru yang kebanyakan menjual produk Cina yang dimiliki oleh pengusaha dari Kalimantan. Keberadaan konter-konter ini tampaknya dianggap mulai mengancam eksistensi pengusaha lokal.
Daftar narasumber:
- Ipang: Pemilik Lestari, toko handphone pertama di Indramayu tahun 1998 – 2007. Sekarang bekerja di Metro Cell
- Ricky: Pemilik Metro Cell, Jalan Sudirman, Indramayu
- Agus: Pemilik counter handphone di Desa Sleman, Jatibarang, Indramayu
- Sigit: Pemilik Trisikomsel, Desa Trisi, Kec. Cikedung, Indramayu