Pengendara Motor Rendah Hati dan Serangga Berwarna Kelabu

oleh Syafiatudina

Perjalanan dari Sindang menuju Cikedung, 8 April 2010

Pukul 10.30, kami berangkat menuju Cikedung, dari rumah Mas Ipang di Kecamatan Sindang. Rombongan kami terdiri atas saya, Andari dan Mas Ipang, berjalan beriringan dengan kecepatan 40-50 km/jam, menuju Desa Amis di Kecamatan Cikedung.

Saya dan Andari menaiki motor Mio Soul berwarna merah. Motor ini kami sewa dari salah satu tetangga Mas Ipang. Saya agak bersemangat mengendarai motor ini menuju Amis, karena biasanya di Yogyakarta, saya mengendarai motor Honda Star. Jadi, pengalaman menggunakan motor modern, terasa menyenangkan.

Berbeda dengan motornya, helm saya sama sekali tidak modern. Bentuknya memang helm standar, tapi catnya sudah usang dan mengelupas di sana-sini akibat sinar matahari. Dugaan kuat, warna sebelumnya adalah merah kecoklatan. Kaitan pengancingnya pun sudah tidak ada. Sehingga untuk menjaga helm itu tetap di kepala, saya harus mengikat kedua tali yang tersisa di helm tersebut.

Kalau ada truk besar berpapasan dengan kami, angin yang dihasilkan truk tersebut dapat membuat helm saya nyaris terlepas. Saya pun akhirnya menundukkan kepala di sepanjang perjalanan, supaya helm tidak terlepas. Alhasil, saya merasa seperti pengemudi motor yang rendah hati karena selalu menundukkan kepala.

Dalam perjalanan, kami melewati daerah Lelea. Di sepanjang daerah ini, banyak sekali ditemui plang kelompok organ tunggal dan tarling dangdut. Saking banyaknya, mereka terlihat seperti industri rumahan. Mayoritas kelompok-kelompok tersebut menggunakan kata “nada” di akhir nama mereka, seperti Amelia Nada, Estu Nada. Tapi nama favorit saya adalah Kelompok Dangdut Singa yang Perkasa, dengan plang bergambar singa dan font horor yang sepertinya dilukis dengan tangan.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba seekor serangga berwarna kelabu, menabrak muka saya. Memang, selain tidak berpengait, helm yang saya gunakan pun tidak memiliki kaca depan. Serangga tersebut tidak terlalu mengganggu, dan saya pun meneruskan perjalanan.

Beberapa menit kemudian, sampailah saya di sebuah jalan di tengah sawah. Jalan yang berlubang dan berlumpur itu adalah satu-satunya jalan menuju Desa Amis. Jadi, mau tidak mau harus dilewati. Dengan berbekal keraguan yang cukup banyak, saya pun menancap gas melewati jalan tersebut. Sambil berkonsentrasi menghindari lubang, tiba-tiba muncul kebanggaan di diri saya. Saya sebagai anak kompleks di perumahan Bumi Serpong Damai, Tangerang, yang pengetahuan jalannya hanya mentok sampai Pondok Indah, sekarang menyusuri jalanan berlumpur di Indramayu. Entah darimana, mengalunlah lagu “I’ve Got The Power” di otak saya. Saya pun bertambah semangat melewati jalanan tersebut sambil terus bersenandung.

Jalanan tersebut berhasil saya lalui. Kami pun sampai di Desa Amis dan bertemu dengan teman kami, Elinah. Kami menginap di rumah orangtua Mas Yani. Malamnya, saya masih merasa senang karena telah berhasil sampai dengan selamat di Desa Amis. Namun, rasa senang tersebut harus berganti dengan rasa gatal. Karena keesokan paginya, bagian muka yang tertabrak serangga berwarna kelabu itu, menjadi bengkak dan kemerahan.

Begitulah kisah saya, pengendara motor yang rendah hati dan serangga berwarna kelabu..