Dan kita berloncatan tak henti-henti di medan komunikasi (bagian 1)
oleh Nuraini Juliastuti
Ketika transit di Stasiun Cirebon di pagi buta hari itu (22 April 2010)–masih jam 3 pagi, sembari menunggu hari agak terang, saya membuka laptop dan mulai membuka-buka folder-folder lagu yang tersimpan didalamnya. Silih berganti kereta api lalu lalang di depan saya. Stasiun Cirebon ini memang merupakan salah satu stasiun transit utama dimana semua kereta bertujuan Jakarta akan berhenti sebentar, menurunkan dan menaikkan penumpang, sebelum melanjutkan perjalanan ke ibukota. Memandang sekeliling, stasiun ini tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sangat lengang. Beberapa lelaki tidur di atas kursi-kursi panjang. Para pedagang aneka makanan berjalan bersliweran, berusaha menjajakan dagangannya ke para penumpang di atas kereta. Seorang bapak tua tiba-tiba datang menghampiri saya dan bertanya, “Mbak, bisa minta tolong dicek pesawat dari Seattle ke Jakarta tiba pukul berapa?”
Ini adalah situasi yang aneh. Tapi jelas saya, terutama kecanduan saya kepada internet dan keinginan untuk terus menerus berada dalam jaringan, dan buka laptop dimanapun saya berada, ikut beri kontribusi untuk menciptakan keanehan itu. Saya yang duduk tenang menikmati kehangatan cahaya yang memancar dari laptop yang terbuka pastilah pemandangan yang cukup menarik perhatian di stasiun ini. Juga saya maklum bahwa komputer adalah mesin yang pintar, sehingga pemiliknya pun dianggap pintar karena punya akses terhadap jalan-jalan menuju banyak gerbang informasi dan pengetahuan yang difasilitasi oleh komputer. Mungkin karena itu saya dianggap tahu banyak informasi, termasuk tiket pesawat dari Amerika ke Indonesia. Ketika saya bilang bahwa ada banyak pesawat dari Amerika ke Indonesia, dan karenanya saya perlu tahu persis nama maskapai penerbangannya, bapak itu tampak kecewa dan berlalu.
Dan seperti halnya perangkat teknologi yang dianggap baru, paling tidak yang saya rasakan di Stasiun Cirebon dan Indramayu, kehadiran laptop masih dihadapi dengan tatapan mata ingin tahu, meski tidak sepenuhnya dianggap aneh.
“Mulai tampak tanda-tanda bahwa laptop akan menjadi barang yang populer”, kata Ipang, anak pemilik rumah yang saya tumpangi, sekaligus orang yang berpengalaman dalam dunia jual-beli hp di kota ini sejak sepuluh tahun lalu. “Baru-baru ini saya berhasil menjual beberapa laptop Axioo”, lanjut Ipang, “Saya dapat barangnya dari teman seharga 2,2jt, lalu saya jual seharga 2,3jt saja.”
Ketika saya menanyakan faktor-faktor yang mendorong orang untuk beralih ke laptop, Ipang menjawab bahwa kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh pengaruh jejaring sosial. Semua orang tergila-gila Facebook, dan karena layar handphone dianggap terlalu kecil, maka mereka memutuskan beralih ke laptop, atau menggunakan warnet dengan lebih maksimal.


