Dan kita berloncatan tak henti-henti di medan komunikasi (bagian 2)

oleh Nuraini Juliastuti

Gb 1. Peta menuju kios ponsel dan warnet milik keluarga Mas Rojak

Dengan Andari yang membonceng di belakang, motor saya melaju kencang (28 April 2010). Mata saya tertuju ke depan, ke sana, ke arah sepeda motor besar dengan pengendara berjaket coklat di atasnya. Itu Mas Rojak. Kami terus melaju, menyalip bis kecil penuh penumpang, truk, beberapa motor lain, melewati pom bensin, lintasan rel kereta api, jalan beraspal berlubang-lubang besar, perjalanan menuju Desa Kedokan Gabus masih panjang. Kami menuju kios ponsel merangkap warnet milik keluarga Mas Rojak. Warnet yang dibuka sejak awal 2008 tersebut adalah warnet satu-satunya di desa itu katanya.

Ada empat orang remaja laki-laki sedang sibuk internetan ketika kami datang. Total hanya ada 5 bilik di warnet ini. Warnet ini terhubung langsung dengan kios ponsel. Istri Mas Rojak tampak sibuk melayani orang-orang yang membeli pulsa. Kios ponsel ini rasanya sangat ramai, tiap tiga menit datang orang dengan berbagai keperluan, beli pulsa, handphone baru, atau mengadukan kerusakan pada handphonenya. Nama tempat ini sendiri secara langsung menunjukkan keterhubungan itu: Alfindo Cellular Internet.

“Tidak mudah untuk membuka warnet di daerah ini,” cerita Mas Rojak. Awalnya Speedy menjadi pilihan utama karena biaya sewa penyedia internet yang murah. Tapi keinginan ini terhalang karena ia mensyaratkan kepemilikan telepon rumah, sementara populasi telepon rumah, di Kecamatan Gabusan Wetan maupun di Cikedung misalnya, tidak merata. Akhirnya Mas Rojak memakai jasa penyedia internet milik Mentari meskipun harga sewanya cukup mahal. Bagi pengusaha kios ponsel, penambahan usaha warnet dianggap cocok karena dalam melakukan pekerjaannya, pengusaha kios ponsel tidak bisa dilepaskan dari internet. “Lagipula saya sering merasa kasihan dengan anak-anak sekolah yang harus browsing-browsing untuk bikin tugas, musti jalan jauh ke Trisi untuk cari warnet”, lanjutnya.

Gb 2. Suasana dalam warnet Mas Rojak. Baru saya sadar kalau didindingnya tertempel logo Kartu As.

Pada tahun pertama, usaha warnet belum meraih banyak keuntungan. Baru pada 2009 ketika popularitas situs-situs jaringan sosial meningkat, pendapatan warnet ini ikut mengalami peningkatan. Meski demikian, seperti cerita Mas Rojak, peningkatan frekwensi pemakaian warnet tidak selalu berhubungan erat dengan peningkatan ketrampilan menggunakan komputer dan internet. “Banyak yang datang ke saya, baik anak sekolah atau mereka yang punya keluarga yang sedang bekerja di Taiwan atau Hongkong dan perlu untuk chatting, karena kalau untuk kontak lewat telepon terus-terusan kan mahal, minta tolong untuk dibikinkan akun Facebook. Pokoknya mereka maunya langsung punya akun Facebook. Ya saya sih biasanya minta aja KTP mereka, dan bikin akun sesuai data diri mereka, lalu saya tarik bayaran lima ribu rupiah per kepala.”