JURNAL

Sesampainya di Batam

oleh Nuraini Juliastuti

Selama melakukan riset di Batam sepanjang Agustus ini, kami tinggal di lantai atas salah satu ruko yang terletak di kawasan bernama Nagoya Hill Superblock. Apa itu Nagoya Hill Superblock? Ia adalah sebuah kompleks berisi sebuah mall raksasa berbentuk segi empat bernama Nagoya Hill, yang ketiga sisinya dikelilingi oleh deretan ruko yang diisi oleh bermacam-macam bidang usaha. Di samping kiri ruko yang kami tempati ini adalah kantor kecil provider Axis. Kalau saya melempar pandangan ke kanan, akan terlihat papan nama “Kopi Tiam Nagoya”, tempat para pekerja menghabiskan waktu sarapan sebelum mulai bekerja.

Lanjutkan →

Batam Dari Balik Jendela Taksi

oleh Syafiatudina

Adek asli Singapur?

Pertanyaan ini diberikan oleh beberapa supir taksi yang saya temui selama di Batam. Dan tentu saya jawab, “Tidak. Saya dari Jogja”. Ketika saya tanya lebih lanjut apakah saya memiliki wajah orang Singapura, para sopir taksi itu tertawa. Salah satu sopir taksi mengatakan bahwa terlalu banyak mengantar orang Singapura membuat mereka berpikir bahwa semua orang berasal dari Singapura.

Warga negara asing yang paling banyak mengunjungi Batam adalah warga Singapura. Mungkin karena kedekatan geografis, membuat Batam menjadi tempat yang menarik untuk didatangi warga Singapura. Beberapa supir taksi yang saya temui, memiliki pelanggan tetap warga Singapura.

Pak R memiliki pelanggan, seorang perempuan asal Singapura yang setiap bulan datang ke Batam untuk membeli susu bayi. Perempuan ini begitu sampai di Batam, langsung menuju supermarket, membeli 10 kaleng susu bayi, lalu kembali lagi ke Singapura. “Bayinya hanya doyan susu Indonesia. Gak doyan dia susu Singapur!” ujar Pak R.

Lanjutkan →

Di jalan lagi

oleh Nuraini Juliastuti

Sudah terang bahwa yang akan saya katakan ini bukan sesuatu yang baru: bahwa jalanan sungguh adalah sebuah ruang terbuka dimana penanda-penanda untuk membaca kota–baik potensi maupun kekalahan orang-orang yang ada didalamnya–ditunjukkan dengan gamblang. Mungkin ia baru saya rasakan maknanya sekarang karena akhir-akhir ini saya, tubuh fisik saya, lebih sering berada di jalan, di tempat-tempat yang tidak saya akrabi, di kota-kota lain. Dan baik bagi pendatang baru maupun penghuni lama sebuah kota, jalanan selalu tersedia sebagai ruang yang akan terus menerus dirujuk untuk melihat kota.

Baru kali ini saya ke Pati. Pengetahuan saya tentangnya juga bisa dibilang minim. Yang jelas saya tahu bahwa dua produsen besar kacang kulit–Garuda dan Dua Kelinci–berpusat disini. Angka detilnya saya belum tahu, tetapi pastilah produksi kacang tanah lebih besar dari hasil pertanian lain sampai dua perusahaan diatas punya pabrik disini. Setelah beberapa hari mondar-mandir, saya tahu bahwa ternyata kota ini juga punya dua buah pabrik gula di Tayu dan Trangkil. Beberapa penandanya saya temukan saat berkendara pulang dari Ngemplak (di Kecamatan Margoyoso) ke rumah pondokan kami di belakang alun-alun kota: truk-truk besar lalu-lalang tak henti-henti mengangkut tebu, keluar dari kebun tebu, masuk penampungan khusus untuk disortir dan diolah di pabrik, truk yang mengangkut karung-karung coklat besar–mungkin itu gula yang sudah jadi? (oh, bisa jadi mereka berisi beras, kacang hijau, atau ketela pohon). Saya temui juga beberapa bis kecil mondar-mandir. Diatas motor yang sama-sama melaju kencangnya dengan mereka, agak sulit untuk membaca mereka ini melaju darimana dan hendak kemana. Saya bayangkan didalam perut mereka berdiam para pegawai pabrik gula, sedang akan berangkat kerja.



Situs ini menggunakan lisensi Creative Commons Lisence BY-SA-NC.
RSS // Ruang Laba