oleh Nuraini Juliastuti
Sudah terang bahwa yang akan saya katakan ini bukan sesuatu yang baru: bahwa jalanan sungguh adalah sebuah ruang terbuka dimana penanda-penanda untuk membaca kota–baik potensi maupun kekalahan orang-orang yang ada didalamnya–ditunjukkan dengan gamblang. Mungkin ia baru saya rasakan maknanya sekarang karena akhir-akhir ini saya, tubuh fisik saya, lebih sering berada di jalan, di tempat-tempat yang tidak saya akrabi, di kota-kota lain. Dan baik bagi pendatang baru maupun penghuni lama sebuah kota, jalanan selalu tersedia sebagai ruang yang akan terus menerus dirujuk untuk melihat kota.
Baru kali ini saya ke Pati. Pengetahuan saya tentangnya juga bisa dibilang minim. Yang jelas saya tahu bahwa dua produsen besar kacang kulit–Garuda dan Dua Kelinci–berpusat disini. Angka detilnya saya belum tahu, tetapi pastilah produksi kacang tanah lebih besar dari hasil pertanian lain sampai dua perusahaan diatas punya pabrik disini. Setelah beberapa hari mondar-mandir, saya tahu bahwa ternyata kota ini juga punya dua buah pabrik gula di Tayu dan Trangkil. Beberapa penandanya saya temukan saat berkendara pulang dari Ngemplak (di Kecamatan Margoyoso) ke rumah pondokan kami di belakang alun-alun kota: truk-truk besar lalu-lalang tak henti-henti mengangkut tebu, keluar dari kebun tebu, masuk penampungan khusus untuk disortir dan diolah di pabrik, truk yang mengangkut karung-karung coklat besar–mungkin itu gula yang sudah jadi? (oh, bisa jadi mereka berisi beras, kacang hijau, atau ketela pohon). Saya temui juga beberapa bis kecil mondar-mandir. Diatas motor yang sama-sama melaju kencangnya dengan mereka, agak sulit untuk membaca mereka ini melaju darimana dan hendak kemana. Saya bayangkan didalam perut mereka berdiam para pegawai pabrik gula, sedang akan berangkat kerja.







