INDRAMAYU

Handphone berantena milik Caridi

oleh Nuraini Juliastuti

Caridi berpose dengan dua handphonenya di halaman depan Sanggar Teratai.

Handphone pertama Caridi bermerk Sony Ericson tipe J200 i. Ia handphone bekas, yang dibeli dari bosnya di kelompok musik Singa Dangdut Dwiputra. Kata bosnya waktu itu, ia sulit dihubungi, padahal posisinya sebagai MC dan vokalis sangat vital. Maka jadilah ia beli handphone bekas itu dengan harga 200 ribu rupiah. Tetapi handphone itu sinyalnya tidak begitu bagus, sehingga ia memutuskan untuk melakukan modifikasi dengan menambahkan antena walkie-talkie. Pikirnya waktu itu, walkie-talkie bisa digunakan sebagai alat komunikasi jarak jauh, jadi mustinya ia juga bisa digunakan untuk menambah kekuatan sinyal di handphonenya ini. Ia sempat mewariskan handphone pertamanya itu ke Rusmini, adik perempuannya, dan ia sendiri berganti handphone baru. Tetapi ketika Rusmini memutuskan untuk beli handphone baru, handphone lama itu tidak lantas disingkirkan, meski batereinya sering drop juga. “Terlalu banyak kenangan di sana,” katanya.

Dan kita berloncatan tak henti-henti di medan komunikasi (bagian 2)

oleh Nuraini Juliastuti

Gb 1. Peta menuju kios ponsel dan warnet milik keluarga Mas Rojak

Dengan Andari yang membonceng di belakang, motor saya melaju kencang (28 April 2010). Mata saya tertuju ke depan, ke sana, ke arah sepeda motor besar dengan pengendara berjaket coklat di atasnya. Itu Mas Rojak. Kami terus melaju, menyalip bis kecil penuh penumpang, truk, beberapa motor lain, melewati pom bensin, lintasan rel kereta api, jalan beraspal berlubang-lubang besar, perjalanan menuju Desa Kedokan Gabus masih panjang. Kami menuju kios ponsel merangkap warnet milik keluarga Mas Rojak. Warnet yang dibuka sejak awal 2008 tersebut adalah warnet satu-satunya di desa itu katanya.

Ada empat orang remaja laki-laki sedang sibuk internetan ketika kami datang. Total hanya ada 5 bilik di warnet ini. Warnet ini terhubung langsung dengan kios ponsel. Istri Mas Rojak tampak sibuk melayani orang-orang yang membeli pulsa. Kios ponsel ini rasanya sangat ramai, tiap tiga menit datang orang dengan berbagai keperluan, beli pulsa, handphone baru, atau mengadukan kerusakan pada handphonenya. Nama tempat ini sendiri secara langsung menunjukkan keterhubungan itu: Alfindo Cellular Internet.

“Tidak mudah untuk membuka warnet di daerah ini,” cerita Mas Rojak. Awalnya Speedy menjadi pilihan utama karena biaya sewa penyedia internet yang murah. Tapi keinginan ini terhalang karena ia mensyaratkan kepemilikan telepon rumah, sementara populasi telepon rumah, di Kecamatan Gabusan Wetan maupun di Cikedung misalnya, tidak merata. Akhirnya Mas Rojak memakai jasa penyedia internet milik Mentari meskipun harga sewanya cukup mahal. Bagi pengusaha kios ponsel, penambahan usaha warnet dianggap cocok karena dalam melakukan pekerjaannya, pengusaha kios ponsel tidak bisa dilepaskan dari internet. “Lagipula saya sering merasa kasihan dengan anak-anak sekolah yang harus browsing-browsing untuk bikin tugas, musti jalan jauh ke Trisi untuk cari warnet”, lanjutnya.

Gb 2. Suasana dalam warnet Mas Rojak. Baru saya sadar kalau didindingnya tertempel logo Kartu As.

Pada tahun pertama, usaha warnet belum meraih banyak keuntungan. Baru pada 2009 ketika popularitas situs-situs jaringan sosial meningkat, pendapatan warnet ini ikut mengalami peningkatan. Meski demikian, seperti cerita Mas Rojak, peningkatan frekwensi pemakaian warnet tidak selalu berhubungan erat dengan peningkatan ketrampilan menggunakan komputer dan internet. “Banyak yang datang ke saya, baik anak sekolah atau mereka yang punya keluarga yang sedang bekerja di Taiwan atau Hongkong dan perlu untuk chatting, karena kalau untuk kontak lewat telepon terus-terusan kan mahal, minta tolong untuk dibikinkan akun Facebook. Pokoknya mereka maunya langsung punya akun Facebook. Ya saya sih biasanya minta aja KTP mereka, dan bikin akun sesuai data diri mereka, lalu saya tarik bayaran lima ribu rupiah per kepala.”

Dan kita berloncatan tak henti-henti di medan komunikasi (bagian 1)

oleh Nuraini Juliastuti

Ketika transit di Stasiun Cirebon di pagi buta hari itu (22 April 2010)–masih jam 3 pagi, sembari menunggu hari agak terang, saya membuka laptop dan mulai membuka-buka folder-folder lagu yang tersimpan didalamnya. Silih berganti kereta api lalu lalang di depan saya. Stasiun Cirebon ini memang merupakan salah satu stasiun transit utama dimana semua kereta bertujuan Jakarta akan berhenti sebentar, menurunkan dan menaikkan penumpang, sebelum melanjutkan perjalanan ke ibukota. Memandang sekeliling, stasiun ini tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sangat lengang. Beberapa lelaki tidur di atas kursi-kursi panjang. Para pedagang aneka makanan berjalan bersliweran, berusaha menjajakan dagangannya ke para penumpang di atas kereta. Seorang bapak tua tiba-tiba datang menghampiri saya dan bertanya, “Mbak, bisa minta tolong dicek pesawat dari Seattle ke Jakarta tiba pukul berapa?”

Ini adalah situasi yang aneh. Tapi jelas saya, terutama kecanduan saya kepada internet dan keinginan untuk terus menerus berada dalam jaringan, dan buka laptop dimanapun saya berada, ikut beri kontribusi untuk menciptakan keanehan itu. Saya yang duduk tenang menikmati kehangatan cahaya yang memancar dari laptop yang terbuka pastilah pemandangan yang cukup menarik perhatian di stasiun ini. Juga saya maklum bahwa komputer adalah mesin yang pintar, sehingga pemiliknya pun dianggap pintar karena punya akses terhadap jalan-jalan menuju banyak gerbang informasi dan pengetahuan yang difasilitasi oleh komputer. Mungkin karena itu saya dianggap tahu banyak informasi, termasuk tiket pesawat dari Amerika ke Indonesia. Ketika saya bilang bahwa ada banyak pesawat dari Amerika ke Indonesia, dan karenanya saya perlu tahu persis nama maskapai penerbangannya, bapak itu tampak kecewa dan berlalu.

Dan seperti halnya perangkat teknologi yang dianggap baru, paling tidak yang saya rasakan di Stasiun Cirebon dan Indramayu, kehadiran laptop masih dihadapi dengan tatapan mata ingin tahu, meski tidak sepenuhnya dianggap aneh.

“Mulai tampak tanda-tanda bahwa laptop akan menjadi barang yang populer”, kata Ipang, anak pemilik rumah yang saya tumpangi, sekaligus orang yang berpengalaman dalam dunia jual-beli hp di kota ini sejak sepuluh tahun lalu. “Baru-baru ini saya berhasil menjual beberapa laptop Axioo”, lanjut Ipang, “Saya dapat barangnya dari teman seharga 2,2jt, lalu saya jual seharga 2,3jt saja.”

Ketika saya menanyakan faktor-faktor yang mendorong orang untuk beralih ke laptop, Ipang menjawab bahwa kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh pengaruh jejaring sosial. Semua orang tergila-gila Facebook, dan karena layar handphone dianggap terlalu kecil, maka mereka memutuskan beralih ke laptop, atau menggunakan warnet dengan lebih maksimal.



Situs ini menggunakan lisensi Creative Commons Lisence BY-SA-NC.
RSS // Ruang Laba