JURNAL

Petunjuk Keselamatan Penelitian Lapangan dan Risikonya

Refleksi ‘Fieldwork’ Riset KUNCI 2010-2011

Oleh: Ferdiansyah Thajib

Berikut adalah catatan atas kunjungan lapangan yang dilakukan selama Riset Budaya Mobil di Indonesia bersama tim KUNCI sejak pertengahan 2010 sampai akhir triwulan pertama 2011. Catatan ini memuat berbagai pemikiran yang terlontar ketika pergi ke lapangan, dalam jeda di antara tiap kunjungan, dan periode setelahnya. Mengingat dibutuhkan beberapa bulan agar saya bisa mengendapkan dan menafsirkan hasil catatan ini kepada pembaca, sudah barang tentu ada banyak hal yang tercecer, terutama karena faktor keterbatasan ingatan (saya bukan pencatat yang baik). Di sisi lain persoalan ‘jarak’ baik dalam konteks gagasan maupun tempat ini pula yang menjadi salah satu poin yang hendak diuraikan di sini, sebagai satu cara untuk memaknai pengalaman melakukan penelitian lapangan dalam konteks sehari-hari , di luar kemapanan institusi akademis formal sebagai modus otoritatif dalam pendisiplinan manufaktur pengetahuan yang ditujukan untuk kepentingan ‘ilmiah’. Terakhir  catatan ini  mengulik perihal penelitian lapangan dan berbagai tantangannya, khususnya dalam bingkai produksi pengetahuan yang translokal.

Simpul-simpul pertanyaan dalam catatan ini banyak mendapat panduan dari tulisan James Clifford dalam Routes, Travel and Translation in the Late Twentieth Century (1997), khususnya dalam bab “Spatial Practices: Fieldwork, Travel, and the Disciplining of Anthropology” (hal. 52-91). Telaah Clifford atas konsep ‘fieldwork’ dalam tradisi etnografi antropologis didekatkannya pada uraian Michel de Certeau (1984) tentang praktik meruang (spatial practices), yakni pemahaman bahwa  ruang selain dipetakan dalam bentuk gagasan, juga mengada ketika aktivitas manusia berlangsung di dalamnya maupun di sekitarnya. Oleh Clifford gagasan de Certeau ini diperkarakan pada pengertian ‘fieldwork’ itu sendiri  sebagai  praktik bepergian (travelling) dan menetap  (dwelling) yang semakin menjadi tidak stabil dan kabur batasannya ketika ‘pola-pola afiliasi dan perpindahan’ semakin mengalami pergeseran dan pencampuran.

Ketika kedalaman dijadikan norma dalam praktik penelitian lapangan (biasanya dinilai dari lama tinggal di lokasi, pemahaman bahasa, frekuensi kunjungan, dan cara interaksi) apa yang terjadi ketika, alih-alih berada di satu lokasi, lapangan menjadi banyak tempat?  Bagaimana pula dengan informan yang tidak lagi tergabung pada satu komunitas tunggal, namun menjadi anggota dari banyak komunitas sekaligus? Pertanyaan-pertanyaan itu, dan masih banyak lagi, yang menjadi sarana bagi Clifford untuk menegosiasikan ulang pemahaman tentang kerja lapangan, di tengah semakin beragamnya cara-cara antropologi untuk keluar dari jebakan eksotisisme dan kolonialisme yang selama ini menjadi bagian dari kritik atas mereka.

Sebagai  peneliti  yang tinggal di Yogyakarta dan melakukan kerja lapangan di beberapa kawasan di Indonesia, secara praktis saya tertarik pada beberapa terang yang digunakan Clifford dalam menjelaskan tentang kelokalan dan kenon-lokalan dalam produksi pengetahuan budaya yang mendalam dalam konteks kerja lapangan. Di antaranya ketika ia menuturkan tentang pembentukan ‘antropolog pribumi’ (indigenous anthropologists) serta perangkapnya dan peran sosok sejarawan lokal (local historian), di tengah kesulitan disiplin antropologi itu sendiri dalam “reconciling goals of analytic distance with the aspirations of Gramscian ‘organic intellectuals’.” (h.84)

Di bagian-bagian berikut, ketimbang menyajikan kerangka teori tentang kerja lapangan sebagai praktik meruang yang diajukan Clifford dengan lengkap, saya mencoba melanjutkan gaungnya pada pengalaman dan pemosisian diri seorang peneliti yang lokal sekaligus bukan lokal ketika melakukan rekaman atas temuan-temuan di lapangan, yakni di Pati (Jawa Tengah), Lombok (Nusa Tenggara Barat), dan Makassar (Sulawesi Selatan), dalam konteks komunikasi, interaksi, dan partisipasi.

Lanjutkan →

Di Kereta Pramex, 08 Mei 2011

oleh: Ferdiansyah Thajib

by: Purnawan Kristanto

Minggu 8 Mei 2011, sekitar jam 16.00 saya melakukan perjalanan Solo-Yogya dengan Kereta Ekspress Pramex. Saya duduk di ujung gerbong kedua dari belakang,  dekat pintu yang menghubungkan gerbong terakhir dan gerbong tersebut. Sore ini penumpang tampak cukup padat, kursi penumpang penuh, beberapa orang yang tidak kebagian tempat duduk berdiri mengisi lorong gerbong, sementara  sisanya memilih duduk lesehan di lantai kereta. Akses pandangan saya terbatas karena sesaknya  kereta yang saya tumpangi. Paling jauh pandangan saya hanya meliputi setengah gerbong saja. Dari pandangan yang terbatas ini saya menghitung ada sekitar 35 orang yang jaraknya terdekat dari saya, dalam jenis kelamin, ada 20 orang perempuan, 15 laki-laki. Dari segi umur ada 3 balita, sisanya usia dewasa.

Dari kelompok penumpang yang saya amati ini ada 12 orang yang memegang HP, termasuk saya yang mendengarkan musik lewat MP3.  Di sepanjang pengamatan saya, dari 12 orang ini ada 6 orang yang tidak melepas HP dari genggaman tangannya, 1 orang memandangi terus layar HP di hadapannya, 3 yang lain melihat sesekali dan meletakannya di saku atau tas yang dibawanya. Pemandangan ini mengingatkan saya dengan cerita yang disampaikan Naomi S. Baron, di bukunya Always On (2008) yang mengamati  perilaku orang menggunakan HP di kereta peluru shinkansen di Jepang. Gejala selalu terkoneksi dengan dunia ini, seperti kita tahu, dijumpai di banyak alat transportasi publik di perkotaan. Apakah ini ciri khas masyarakat perkotaan? Saya tidak hendak menjawabnya dalam kesempatan ini.

Aktivitas selusin orang pengguna HP di gerbong kereta yang saya tumpangi sore itu berkisar pada berkirim pesan via SMS, Black Berry Messenger, bermain game atau meramban Internet. Tidak ada yang menelepon. Saya tidak tahu pasti apa yang tengah dilakukan masing-masing orang, karena saya tidak dapat melihat layar HP mereka secara langsung. Saya hanya bisa melirik ke dua perempuan yang duduk di sebelah saya dan mereka sedang ber-SMS. Saya kemudian berusaha membayangkan apa yang mereka alami dengan teknologi mobilnya yang memungkinkan mereka untuk selalu terhubung dengan dunia: komunikasi semakin nyaman dan cepat; mereka dapat mengabari kerabat yang ada di Yogyakarta tentang kunjungan yang mereka lakukan, atau bahkan membuat janji bertemu setibanya di sana. Atau mungkin mereka hanya ingin mengatasi kejenuhan dalam perjalanan dengan berkomunikasi dengan orang-orang yang mereka kenal di ujung HP yang satunya. Lama waktu dan jauhnya jarak menjadi tidak terasa.  Semuanya menjadi lebih mudah berkat teknologi mobil, benarkah begitu?

Apakah yang dirasakan orang dengan adanya kemudahan? Apakah kualitas dan hidup orang membaik dengan adanya teknologi tersebut? Jika kualitas dan kebaikan hidup orang disederhanakan dalam satu kata, kebahagiaan, apakah orang lebih bahagia karena komunikasi dapat dilakukan dengan nyaman, cepat, dan mudah?  Saya jadi teringat tuturan seorang kawan dalam salah satu diskusi kelompok yang kami selenggarakan di Makassar sewaktu penelitian lapangan tentang budaya penggunaan HP bulan Januari, 2011, menurutnya tidak ada perubahan yang signifikan dalam  kualitas hidup. Ia mencontohkan tentang  pesatnya konsumsi televisi di masyarakat di era 1980’an, orang membeli TV hanya karena orang lain sudah terlebih dulu memilikinya, demikian juga perangkat  teknologi lain seperti parabola,pager, dan sekarang HP . Teknologi baru menjadi tanda yang dikonsumsi, sebagai representasi dan ukuran bagi hidup yang berkualitas; sebagai gaya. Apakah orang serta merta bahagia dengan gaya? Mungkin saja. Tapi benarkah kualitas hidup bisa ditakar melalui konsumsi tanda saja tanpa substansi?

Tatapan tentang simulakra dan gejala konsumerisme lainnya sudah cukup banyak disampaikan sebelum ini. Sementara itu di sini saya merunut pada terang Scott Lash  dalam bukunya Critique of Information (2002), yang  menggambarkan tentang perubahan tatanan nilai dalam masyarakat informasi di jaman percepatan media dan teknologi sekarang. Menurutnya, kritik  semakin bergeser dari arah transendensi menuju imanensi. Artinya, cara mengukuhkan kebenaran tidak lagi merujuk pada yang berada di luar sana,- seperti soal wahyu (merujuk ke langit) dan simbol (merujuk pada “makna” mendalam) – melainkan masuk ke tataran kritik yang melebar dan merata. Kebenaran hadir serentak dan instan  dalam perjumpaan antara manusia dan mesin. Ia hadir nyata sejauh ada jejaring informasi yang menggerakannya. Tidak ada kebenaran substantif, yang ada versi. Dalam konteks ini pula Lash menyatakan bahwa, tidak ada kritik di luar ideologi (informasi).

Paparan tentang perilaku manusia dan mesin di atas saya coba gandengkan dengan asumsi tentang kebahagiaan dalam upaya memahami  bawaan teknologi mobil ke dalam kehidupan manusia. Pada saat yang bersamaan saya memaklumi  bahwa upaya ini  beresiko menyederhanakan berbagai lapis kenyataan yang mempengaruhi penciptaan emosi dan nilai, karena pada praktiknya keduanya tampak absen dalam  interaksi manusia dan teknologi informasi.   Kenyamanan dan kemudahan dalam menghadapi atau menggunakan suatu teknologi tertentu tidak serta merta memperbaiki kualitas dunia hidup seseorang maupun sosial.  Dalam banyak kasus kita juga menjumpai dampak kerumitan yang dibawa  teknologi mobil. Misalnya, dalam situasi di mana  orang kesulitan membatasi persebaran informasi dalam ranah privat, mata (warga yang peka) media kini semakin hadir dalam peristiwa yang mengitari kehidupan orang. Kemudian ada pula soal percepatan peralihan informasi  yang berimbas pada tumpulnya  kemampuan orang untuk merefleksikan suatu peristiwa (lihat tulisan Intan Paramaditha tentang pengalaman menyaksikan kekerasan di sini). Pemandangan muram mengenai dampak teknologi informasi kepada hidup manusia ini pada bersamaan menunjukkan adanya ciri kualitatif dari pengalaman berteknologi.

Sekarang saya akan mencoba menelusuri poin-poin abstraksi di atas ke dalam pengalaman saya sebagai seorang penumpang kereta yang berpretensi  mengamati cara orang menggunakan HP dengan menggunakan HP sebagai media pencatatannya (karena tidak membawa buku catatan dan pena). Kemudahan dan kecepatan menjadi hal terakhir yang saya maknai di sini. Saya justru khawatir bahwa saya akan segera lupa begitu saya turun di stasiun tujuan di Yogyakarta, karena ada labirin informasi lain yang harus saya hadapi: tawar menawar dengan supir becak, ribuan tampilan visual yang saya jumpai di perjalanan, informasi terbaru dari kawan, bahkan sampai saya duduk di depan layar komputer menuliskan blog ini. Di titik ini, selain lupa dengan informasi yang hendak saya tuliskan, tantangan lainnya adalah perasaan kehilangan momen tentang penting tidaknya informasi ini disampaikan.

Setelah dimuat, informasi yang saya cantumkan  akan segera bergabung dengan jaringan informasi lainnya, dipranalakan  dengan beragam situs web dan muncul dalam banyak versi begitu dipanggil mesin pencari, mungkin akan dibubuhi komentar dan dikaitkan ke berbagai situs jejaring sosial, beredar dalam versi mentahnya sebagai data numerik, melompati mainframe demi mainframe dan menembus lokasi-lokasi server di seluruh dunia ( bahkan ketika blog awal yang memuat tulisan ini kelak mati). Kebenaran teks yang saya muat ini sebagai informasi akan menjadi sebuah kebenaran selama masih ada yang mengambil dan membacanya, dan jika tidak ia akan musnah, setidaknya sampai ada yang memungut dan membacanya lagi . Lagi-lagi paham atas kenyataan ini tidak membuat pemandangannya jadi lebih cerah.

Begitulah, di hadapan kerumitan di atas saya pun kehilangan selera mencari kebahagiaan dalam menggunakan teknologi mobil ini, sambil berdoa terus juga semoga jika bukan karena kebahagiaan, saya tidak melakukan ini untuk sekedar nggaya . Untuk mendapatkannya saya memilih  berpegang pada naluri  purba  dalam berbagi pengetahuan serta menjaring pengetahuan baru di dalam prosesnya. Teknologi mobil media jelas penting di sini sebagai sarana, itu jadi pegangan klasik dan karenanya efektif. Dengan begitu saya  mengitari kerumitan jangkauan abstrak yang dihasilkan dari perjumpaan dengan  teknologi  informasi, dan memintasinya lewat jalan kognisi subyektif yang saya katakan purba itu tadi. Setelah tujuan dan pengunaan teknologi tercocokkan,  apa yang hendak saya sampaikan ke sidang pembaca tersampaikan dan kesempatan bagi masukan dibuka, sejauh ini perasaan saya jauh lebih baik .  Apakah yang saya rasakan adalah kebahagiaan? Mungkin lebih tepat jika dikatakan sebagai lega . Dan setelah selesai  membaca sekelumit cermatan ini, bagaimana dengan anda? Apakah anda bahagia?

Melacak Jejak Handphone Dalam Perjalanan Makassar – Polewali Mandar

Oleh Yuli Andari Merdikaningtyas

Saya menyempatkan diri untuk mampir di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dalam rangka penelitian tentang penggunaan handphone kali ini. Beberapa hari sebelumnya saya dan Ferdiansyah Thajib melakukan penelitian yang sama di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Beberapa komunitas anak muda yang telah kami wawancarai dan kami ajak diskusi tentang penggunaan handphone antara lain Komunitas Film Rumah Ide, Komunitas Ininnawa (yang terdiri dari peneliti, penulis, dan aktivis) serta Komunitas Blogger di Kota Makassar. Responden utama penelitian tentang penggunaan handphone ini adalah anak muda yang dibagi menjadi tiga fokus utama yaitu: anak muda perkotaan, anak muda dalam komunitas pesantren, dan anak muda yang menjadi buruh migran (juga termasuk keluarga mereka). Waktu penelitian kami yang sangat singkat (30 hari) di Kota Makassar dan sekitarnya membuat kami bersiasat untuk membagi tugas. Ferdiansyah Thajib tetap berada di Makassar, sedangkan saya melakukan perjalanan ke Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Keberangkatan saya ke Polewali Mandar ditemani oleh Atika, fasilitator lapangan Komunitas Payo-Payo yang sedang berproses bersama masyarakat di salah satu desa di kabupaten tersebut untuk mengembangkan gerakan pertanian organik.

Perjalanan darat dari Kota Makassar menuju Polewali Mandar kami tempuh dalam waktu 7 jam, melewati beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu: Maros, Pangkep, Barru, Pare-Pare, dan Pinrang. Kabupaten Pinrang merupakan perbatasan antara Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Setelah melewati Kabupaten Pinrang, kami mulai memasuki Kabupaten Polewali Mandar, kabupaten paling timur Sulawesi Barat. Saya dan Atika mencarter mobil. Selain kami, ada lima orang penumpang lainnya yang juga mencarter mobil tersebut. Mobil carteran kami berangkat pukul 15.30 WITA dan tiba di rumah kenalan kami pada pukul 22.30 WITA.

Ini perjalanan pertama saya ke kabupaten lain di Pulau Sulawesi. Selain Makassar, saya belum pernah mengunjungi kabupaten lainnya sehingga saya sangat tertarik dan menikmati perjalanan ini. Sepanjang perjalanan di Jalan Poros Sulawesi, tanpa rasa ngantuk sedikit pun saya melihat-lihat pemandangan di sisi kanan dan kiri saya. Sejauh mata memandang tampak sawah berselang-seling dengan lautan, sungai, dan deretan rumah panggung yang sangat kokoh dengan tiang-tiang yang tinggi. Melewati Kabupaten Pangkep dan Barru, jalan mulai tidak rata. Banyak air yang tergenang di tengah jalan menyerupai kubangan yang besar. Mobil kami berusaha menghindari kubangan tersebut begitu pula dengan truk fuso, bis antar kota dan mobil dinas pejabat. Rasa pusing mulai muncul karena jalanan tidak rata, namun bentangan perbukitan karts yang indah memanjang diantara Kabupaen Maros – Pangkep cukup membuat rasa pusing dan penat hilang.

Semakin memasuki kota, semakin tampak jelas keramaian dan hiruk pikuk suasana terminal, pasar, dan deretan toko. Lengkap dengan papan-papan reklame rokok, baliho produk seluler, dan iklan layanan masyarakat. Ketika memasuki Kabupaten Polewali Mandar tampak baliho-baliho bakal calon gubernur Sulawesi Barat memenuhi samping kiri dan kanan jalan, terus memadat sampai ke pusat kota. Sebagai orang yang datang dengan misi khusus untuk penelitian handphone, ketertarikan saya pun telah mengarah kepada baliho, spanduk, poster, dan kios-kios produk seluler. Beberapa kios produk seluler berada di depan rumah panggung tampak menyolok dengan warna branding provider tertentu. Ada pula kios yang berada di kolong rumah panggung yang penuh dengan spanduk promosi produk seluler. Sekilas saya bertanya kepada teman seperjalanan tentang provider apa yang paling laris di wilayah ini. Semua hampir menjawab bahwa TELKOMSEL adalah provider yang paling laris. Jawaban mereka seolah-olah terkonfirmasi dengan sendirinya bila melihat warna merah yang mendominasi sepanjang jalan.

Masih tentang handphone, saya mengamati cara pencarian penumpang yang dilakukan oleh sopir mobil carteran yang kami tumpangi. Pak Sopir tampak selalu sibuk dengan handphonenya. Sejak kami meninggalkan terminal Makassar, Pak Sopir tampak menelpon beberapa calon penumpang untuk mengkonfirmasi apakah mereka jadi berangkat atau tidak. Hampir tak ada jeda, handphone itu terus berdering, entah itu SMS atau telpon yang masuk. Sambil menyetir pun ia berusaha berkomunikasi dengan orang yang menelponnya. Sesekali saya mendengar Pak Sopir mengulangi alamat rumah dan jam penjemputan yang diminta oleh seorang penumpang. Di kesempatan lain Pak Sopir minta maaf karena mobilnya sudah penuh penumpang. Rupanya beberapa penumpang yang rutin melakukan perjalanan antara Makassar – Polewali Mandar sudah langganan naik mobil ini. Mereka tak membeli tiket seperti yang dilakukan kalau naik bis. Namun mereka tinggal menelpon ke nomor handphone milik Pak Sopir untuk minta jemput di kediaman mereka. Atika juga melakukan hal yang sama. Sehari sebelum kami ke Polewari Mandar, Atika telah menelpon Pak Sopir dan memesan dua kursi untuk kami. Handphone Pak Sopir kembali berbunyi. Kali ini, seorang penumpang meminta untuk dijemput di Kabupaten Barru, tujuannya ke Polewali Mandar. Pak Sopir menyanggupi permintaan penumpag tersebut lalu meletakkan handphonenya kembali ke dalam saku bajunya. Setelah itu, ia mulai memutar CD audio lagu-lagu Indonesia bercampur dengan lagu daerah Mandar.

Lanjutkan →



Situs ini menggunakan lisensi Creative Commons Lisence BY-SA-NC.
RSS // Ruang Laba