oleh: Ferdiansyah Thajib

by: Purnawan Kristanto
Minggu 8 Mei 2011, sekitar jam 16.00 saya melakukan perjalanan Solo-Yogya dengan Kereta Ekspress Pramex. Saya duduk di ujung gerbong kedua dari belakang, dekat pintu yang menghubungkan gerbong terakhir dan gerbong tersebut. Sore ini penumpang tampak cukup padat, kursi penumpang penuh, beberapa orang yang tidak kebagian tempat duduk berdiri mengisi lorong gerbong, sementara sisanya memilih duduk lesehan di lantai kereta. Akses pandangan saya terbatas karena sesaknya kereta yang saya tumpangi. Paling jauh pandangan saya hanya meliputi setengah gerbong saja. Dari pandangan yang terbatas ini saya menghitung ada sekitar 35 orang yang jaraknya terdekat dari saya, dalam jenis kelamin, ada 20 orang perempuan, 15 laki-laki. Dari segi umur ada 3 balita, sisanya usia dewasa.
Dari kelompok penumpang yang saya amati ini ada 12 orang yang memegang HP, termasuk saya yang mendengarkan musik lewat MP3. Di sepanjang pengamatan saya, dari 12 orang ini ada 6 orang yang tidak melepas HP dari genggaman tangannya, 1 orang memandangi terus layar HP di hadapannya, 3 yang lain melihat sesekali dan meletakannya di saku atau tas yang dibawanya. Pemandangan ini mengingatkan saya dengan cerita yang disampaikan Naomi S. Baron, di bukunya Always On (2008) yang mengamati perilaku orang menggunakan HP di kereta peluru shinkansen di Jepang. Gejala selalu terkoneksi dengan dunia ini, seperti kita tahu, dijumpai di banyak alat transportasi publik di perkotaan. Apakah ini ciri khas masyarakat perkotaan? Saya tidak hendak menjawabnya dalam kesempatan ini.
Aktivitas selusin orang pengguna HP di gerbong kereta yang saya tumpangi sore itu berkisar pada berkirim pesan via SMS, Black Berry Messenger, bermain game atau meramban Internet. Tidak ada yang menelepon. Saya tidak tahu pasti apa yang tengah dilakukan masing-masing orang, karena saya tidak dapat melihat layar HP mereka secara langsung. Saya hanya bisa melirik ke dua perempuan yang duduk di sebelah saya dan mereka sedang ber-SMS. Saya kemudian berusaha membayangkan apa yang mereka alami dengan teknologi mobilnya yang memungkinkan mereka untuk selalu terhubung dengan dunia: komunikasi semakin nyaman dan cepat; mereka dapat mengabari kerabat yang ada di Yogyakarta tentang kunjungan yang mereka lakukan, atau bahkan membuat janji bertemu setibanya di sana. Atau mungkin mereka hanya ingin mengatasi kejenuhan dalam perjalanan dengan berkomunikasi dengan orang-orang yang mereka kenal di ujung HP yang satunya. Lama waktu dan jauhnya jarak menjadi tidak terasa. Semuanya menjadi lebih mudah berkat teknologi mobil, benarkah begitu?
Apakah yang dirasakan orang dengan adanya kemudahan? Apakah kualitas dan hidup orang membaik dengan adanya teknologi tersebut? Jika kualitas dan kebaikan hidup orang disederhanakan dalam satu kata, kebahagiaan, apakah orang lebih bahagia karena komunikasi dapat dilakukan dengan nyaman, cepat, dan mudah? Saya jadi teringat tuturan seorang kawan dalam salah satu diskusi kelompok yang kami selenggarakan di Makassar sewaktu penelitian lapangan tentang budaya penggunaan HP bulan Januari, 2011, menurutnya tidak ada perubahan yang signifikan dalam kualitas hidup. Ia mencontohkan tentang pesatnya konsumsi televisi di masyarakat di era 1980’an, orang membeli TV hanya karena orang lain sudah terlebih dulu memilikinya, demikian juga perangkat teknologi lain seperti parabola,pager, dan sekarang HP . Teknologi baru menjadi tanda yang dikonsumsi, sebagai representasi dan ukuran bagi hidup yang berkualitas; sebagai gaya. Apakah orang serta merta bahagia dengan gaya? Mungkin saja. Tapi benarkah kualitas hidup bisa ditakar melalui konsumsi tanda saja tanpa substansi?
Tatapan tentang simulakra dan gejala konsumerisme lainnya sudah cukup banyak disampaikan sebelum ini. Sementara itu di sini saya merunut pada terang Scott Lash dalam bukunya Critique of Information (2002), yang menggambarkan tentang perubahan tatanan nilai dalam masyarakat informasi di jaman percepatan media dan teknologi sekarang. Menurutnya, kritik semakin bergeser dari arah transendensi menuju imanensi. Artinya, cara mengukuhkan kebenaran tidak lagi merujuk pada yang berada di luar sana,- seperti soal wahyu (merujuk ke langit) dan simbol (merujuk pada “makna” mendalam) – melainkan masuk ke tataran kritik yang melebar dan merata. Kebenaran hadir serentak dan instan dalam perjumpaan antara manusia dan mesin. Ia hadir nyata sejauh ada jejaring informasi yang menggerakannya. Tidak ada kebenaran substantif, yang ada versi. Dalam konteks ini pula Lash menyatakan bahwa, tidak ada kritik di luar ideologi (informasi).
Paparan tentang perilaku manusia dan mesin di atas saya coba gandengkan dengan asumsi tentang kebahagiaan dalam upaya memahami bawaan teknologi mobil ke dalam kehidupan manusia. Pada saat yang bersamaan saya memaklumi bahwa upaya ini beresiko menyederhanakan berbagai lapis kenyataan yang mempengaruhi penciptaan emosi dan nilai, karena pada praktiknya keduanya tampak absen dalam interaksi manusia dan teknologi informasi. Kenyamanan dan kemudahan dalam menghadapi atau menggunakan suatu teknologi tertentu tidak serta merta memperbaiki kualitas dunia hidup seseorang maupun sosial. Dalam banyak kasus kita juga menjumpai dampak kerumitan yang dibawa teknologi mobil. Misalnya, dalam situasi di mana orang kesulitan membatasi persebaran informasi dalam ranah privat, mata (warga yang peka) media kini semakin hadir dalam peristiwa yang mengitari kehidupan orang. Kemudian ada pula soal percepatan peralihan informasi yang berimbas pada tumpulnya kemampuan orang untuk merefleksikan suatu peristiwa (lihat tulisan Intan Paramaditha tentang pengalaman menyaksikan kekerasan di sini). Pemandangan muram mengenai dampak teknologi informasi kepada hidup manusia ini pada bersamaan menunjukkan adanya ciri kualitatif dari pengalaman berteknologi.
Sekarang saya akan mencoba menelusuri poin-poin abstraksi di atas ke dalam pengalaman saya sebagai seorang penumpang kereta yang berpretensi mengamati cara orang menggunakan HP dengan menggunakan HP sebagai media pencatatannya (karena tidak membawa buku catatan dan pena). Kemudahan dan kecepatan menjadi hal terakhir yang saya maknai di sini. Saya justru khawatir bahwa saya akan segera lupa begitu saya turun di stasiun tujuan di Yogyakarta, karena ada labirin informasi lain yang harus saya hadapi: tawar menawar dengan supir becak, ribuan tampilan visual yang saya jumpai di perjalanan, informasi terbaru dari kawan, bahkan sampai saya duduk di depan layar komputer menuliskan blog ini. Di titik ini, selain lupa dengan informasi yang hendak saya tuliskan, tantangan lainnya adalah perasaan kehilangan momen tentang penting tidaknya informasi ini disampaikan.
Setelah dimuat, informasi yang saya cantumkan akan segera bergabung dengan jaringan informasi lainnya, dipranalakan dengan beragam situs web dan muncul dalam banyak versi begitu dipanggil mesin pencari, mungkin akan dibubuhi komentar dan dikaitkan ke berbagai situs jejaring sosial, beredar dalam versi mentahnya sebagai data numerik, melompati mainframe demi mainframe dan menembus lokasi-lokasi server di seluruh dunia ( bahkan ketika blog awal yang memuat tulisan ini kelak mati). Kebenaran teks yang saya muat ini sebagai informasi akan menjadi sebuah kebenaran selama masih ada yang mengambil dan membacanya, dan jika tidak ia akan musnah, setidaknya sampai ada yang memungut dan membacanya lagi . Lagi-lagi paham atas kenyataan ini tidak membuat pemandangannya jadi lebih cerah.
Begitulah, di hadapan kerumitan di atas saya pun kehilangan selera mencari kebahagiaan dalam menggunakan teknologi mobil ini, sambil berdoa terus juga semoga jika bukan karena kebahagiaan, saya tidak melakukan ini untuk sekedar nggaya . Untuk mendapatkannya saya memilih berpegang pada naluri purba dalam berbagi pengetahuan serta menjaring pengetahuan baru di dalam prosesnya. Teknologi mobil media jelas penting di sini sebagai sarana, itu jadi pegangan klasik dan karenanya efektif. Dengan begitu saya mengitari kerumitan jangkauan abstrak yang dihasilkan dari perjumpaan dengan teknologi informasi, dan memintasinya lewat jalan kognisi subyektif yang saya katakan purba itu tadi. Setelah tujuan dan pengunaan teknologi tercocokkan, apa yang hendak saya sampaikan ke sidang pembaca tersampaikan dan kesempatan bagi masukan dibuka, sejauh ini perasaan saya jauh lebih baik . Apakah yang saya rasakan adalah kebahagiaan? Mungkin lebih tepat jika dikatakan sebagai lega . Dan setelah selesai membaca sekelumit cermatan ini, bagaimana dengan anda? Apakah anda bahagia?