Handphone Untuk TKW Tidak Efektif
Oleh Yuli Andari Merdikaningtyas
Kasus penganiayaan Sumiati, tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia asal Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang bekerja di Arab Saudi menggemparkan tanah air pada akhir tahun lalu. Berbagai media cetak maupun elektronik berlomba memuat berita tersebut bahkan menayangkan perkembangan berita tersebut secara langsung lengkap dengan dialog para pakar dan pengamat di bidang pekerja migran. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) dan Badan Nasional Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNPTKI) sibuk menjawab pertanyaan berbagai media berkaitan dengan hal tersebut. Hebohnya kasus ini di media massa mendorong Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) berpidato khusus tentang kasus ini. Presiden mengatakan bahwa peristiwa kekerasan, penyiksaan, dan penganiayaan yang dialami oleh Sumiati adalah kasus luar biasa kejamnya yang dialami oleh seorang anak bangsa yang bekerja di negeri orang. Namun isi pidato presiden ini tidak lebih dari pernyataan basi dan selalu berulang-ulang disampaikan kepada publik sebagai formalitas seorang pemimpin, mengingat kasus penganiayaan terhadap TKW Indonesia bukanlah yang pertama kalinya terjadi.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penyiksaan dan penganiayaan yang menimpa Nirmala Bonat, Siti Hajar, dan Ceriati. Kita tersentak tak percaya melihat bekas-bekas penyiksaan yang dialami oleh para TKW kita yang bekerja di Saudi Arabia maupun Malaysia. Sangat ironis, apa yang dialami oleh para TKW kita ini sangat tidak sepadan dengan gelar Pahlawan Devisa yang telah dilekatkan pada mereka oleh pemerintah. Mereka telah memberikan sumbangan devisa yang sangat besar bagi Indonesia, namun apa yang telah dilakukan oleh negara kepada mereka? Tidak ada perlindungan nyata yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya yang mencari penghidupan di negeri orang. Seumpama mereka tetap disebut sebagai Pahlawan Devisa, berarti negara ini adalah negara kerdil yang tidak bisa menghargai jasa para pahlawannya. Negara yang membiarkan rakyatnya bekerja di negeri orang, membanting tulang, mendapat siksaan, tanpa ada jaminan keselamatan yang bisa membuat rakyatnya tenang. Sejak dahulu hingga kini, kasus penyiksaan terus bertambah, namun tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan untuk memperbaiki posisi tawar tenaga kerja Indonesia di mata negara-negara pengimpor jasa TKW.
Dalam kasus Sumiati, Presiden SBY seolah-olah memberikan solusi dengan menginstruksikan kepada pejabat terkait agar para TKW dibekali handphone selama mereka bekerja dan akan membuka layanan call center untuk mempercepat penanganan kasus yang dialami oleh para TKW Indonesia selama masalah selama bekerja di luar negeri. Beberapa reaksi keras muncul seiring dengan pernyataan SBY tersebut. Gelombang demonstrasi para aktivis buruh migran dengan terang-terangan menolak pernyataan SBY. Mereka menganggap pemberian handphone kepada para TKW sebagai sebuah hal yang reaksioner, pragmatis, dan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang sebenarnya. Handphone maupun Call Center hanya merupakan media untuk berkomunikasi, yang sebenarnya tanpa diberikan oleh negara pun para TKW sanggup mengusahakannya sendiri. Yang harus dirubah adalah kebijakan dan kesepakatan bilateral antara Indonesia dan negara pengimpor jasa TKW seperti Saudi Arabia dan Malaysia. Selama ini, secara kasat mata kita bisa melihat bahwa kebanyakan para TKW sudah memiliki handphone namun mereka tidak bisa menggunakannya karena belum adanya regulasi tentang penggunaan media untuk berkomunikasi dalam kontrak kerja mereka.
Terkait dengan hal tersebut, KUNCI Cultural Studies Center melakukan Focus Group Discussion (FGD) di kalangan pekerja migran (TKW) dalam rangka penelitian “Konvergensi Teknologi Media di Indonesia: Sebuah Perspektif Budaya”. Diskusi ini melibatkan para TKW, mantan TKW, dan anggota keluarga mereka. Diskusi berlangsung pada tanggal 17 Desember 2010, bertempat di Community Center Mandiri, Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.