Dilarang Men-chas HP Disini!…

Oleh Yuli Andari Merdikaningtyas

Sejak dulu, Pondok Pesantren Banu Sanusi telah dikenal sebagai tempat untuk orang yang ingin belajar ilmu kitab agama Islam di Lombok. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pondok ini mulai mengadopsi cara belajar sekolah formal dengan menambahkan mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Seni. Pondok Pesantren Banu Sanusi terdiri dari dua asrama utama yaitu asrama santri perempuan dan asrama santri laki-laki. Sedangkan ruang kelas, perpustakaan, ruang guru, dan aula terletak di lantai kedua asrama tersebut. Selain itu terdapat sebuah mesjid kecil yang selalu ramai oleh santri yang shalat atau mengaji serta sebuah beruga yang biasanya digunakan untuk ngobrol atau hanya duduk bersantai.


Lokasi pondok ini berada di daerah Sesela, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat. Remaja yang nyantri di pondok ini berasal dari berbagai daerah di pulau Lombok. Umumnya mereka berminat untuk menjadi santri karena ingin melanjutkan tradisi keluarga mereka yang pernah bersekolah di pondok tersebut. Alasan lain yang tak kalah kuatnya adalah karena sejak dahulu uang sekolah di pondok ini sangat terjangkau bagi orang tua siswa. Nuansa kekeluargaan sangat kental di pondok ini. Para santri perempuan sering membantu keluarga pemilik pesantren dalam pekerjaan-pekerjaan membersihkan rumah, pergi ke pasar, dan memasak.

Pada tanggal 6 Desember 2010, kami mengadakan focus group discussion (FGD) dengan para santri laki-laki di Pondok Pesantren Banu Sanusi. Ketika kami datang, para santri telah duduk berkumpul di beruga‘ yang terletak di tengah-tengah lokasi pondok. Sekitar 15 orang santri berumur antara 14 – 19 tahun telah siap-siap dengan buku catatan dan pulpen mereka. Selama FGD, kami mengajak mereka untuk berbagi pengalaman tentang penggunaan handphone, internet, dan bagaimana regulasi yang berlaku di dalam Pondok Pesantren Banu Sanusi.

Topik tentang larangan penggunaan handphone selama berada di dalam pondok merupakan perbincangan yang paling seru selama berlangsungnya diskusi. Ahmad Saleh, salah seorang santri bercerita bahwa handphone-nya telah beberapa kali disita oleh pihak pondok pesantren karena ketahuan sedang menelpon. Alasannya tetap nekat membawa hp ke dalam pondok karena ia ingin tetap terhubung dengan keluarganya. Ia telah memiliki hp sejak tahun 2004 ketika duduk di bangku Tsanawiyah (setingkat SMP). “Waktu hp saya diambil, saya hanya bisa pasrah saja, karena belum tentu dengan cepat kita bisa minta kembali hp itu,” ceritanya. Sedangkan menurut santri lainnya, semakin ketatnya peraturan penggunaan handphone di pondok pesantren ini karena pernah ada laporan dari masyarakat bahwa banyak santri yang janjian dan pacaran di luar pondok. “Banyak teman-teman yang janjian melalui SMS untuk bertemu di luar pondok untuk pacaran. Jadinya masyarakat di sekitar pondok melaporkan hal tersebut kepada guru dan pemilik pondok. Akhirnya pihak pondok semakin sering melakukan sweeping dan semua hp milik santri disita,” tutur santri tersebut.

Regulasi yang berlaku di Pondok Pesantren Banu Sanusi juga berlaku di beberapa pondok pesantren lainnya di Indonesia yaitu melarang penggunaan hp bagi santri-santrinya yang masih duduk di Tsanawiyah dan Aliyah. Namun handphone bisa digunakan untuk santri yang sudah mahasiswa (Tarbiyah). Syafiatudina pernah menulis pengamatannya tentang penggunaan handphone oleh santri di Pati, Jawa Tengah (Lihat tulisan “Bersiasat Dengan Handphone” di blog ini).

Selain handphone, peraturan di Pondok Pesantren Banu Sanusi juga melarang barang elektronik seperti radio dan televisi selama berada di pondok. Menurut Sibawaihi, kepala sekolah Tsanawiyah di pondok ini, regulasi pelarangan penggunaan handphone dan barang elektronik lainnya dikeluarkan oleh pihak pondok pesantren karena banyak terjadi kasus menurunnya nilai siswa terutama dalam pelajaran baca kitab. “Waktu yang seharusnya digunakan untuk memperlancar bacaan kitab, oleh siswa digunakan untuk mendengarkan radio, menonton televisi, atau menggunakan handphone. Selain itu, banyak siswa yang menunggak pembayaran iuran pokok pesantren sebesar Rp. 5000,- per bulan karena uang tersebut mereka belikan pulsa,” ungkapnya.

Meskipun demikian ketatnya peraturan pondok pesantren, ada saja santri yang berusaha menyiasati pemakaian hp. Ketika saya mendapat kesempatan untuk menginap di Asrama Putri Pondok Pesantren Banu Sanusi pada tanggal 20 Desember 2010, saya masih mendengar bunyi SMS di malam hari, padahal semua santri sudah terlelap dalam selimutnya masing-masing. Memakai handphone dalam selimut dan berpura-tidur, mungkin salah satu trik yang jitu untuk bisa mereka terapkan. Selain itu, cara lainnya yang sering dilakukan oleh santri adalah meminjam hp milik santri yang lebih senior , namun permintaan tersebut hanya dikabulkan apabila dalam keadaan mendesak, misalnya untuk mengabarkan ke keluarga kalau uang saku habis atau ada yang sakit.

Aktivitas para santri perempuan ini hampir sama dengan santri laki-laki. Mulai subuh mereka sudah bangun untuk melaksanakan sholat Subuh berjama’ah setelah itu mereka mengaji sekitar 30 menit. Aktivitas kemudian dilanjutkan dengan mengantri mandi karena kamar mandi hanya ada 5 buah untuk dipakai oleh puluhan santri perempuan. Ketika saya menginap di pondok pesantren ini, sebagian santri sudah ada yang pulang ke rumah masing-masing karena sudah libur. Namun masih banyak juga santri yang menetap di pondok menunggu nilai mereka diumumkan oleh para ustadz dan ustadzah.


Selama siang hari, saya melihat tidak ada santri yang memegang hp. Sepertinya mereka sadar benar bahwa aturan yang berlaku cukup ketat di dalam pesantren. Yang boleh membawa handphone adalah mahasiswa Tarbiah saja. Secara tertulis saya melihat sebuah peringatan yang dituliskan di dinding salah satu ruang tidur satri perempuan. Tulisan itu tepat berada di bawah stop kontak listrik yang biasanya digunakan untuk me-recharge handphone. “Dilarang Mengecas HP di sini kecuali anak Tarbiyah aja. Kalau nekat akan dilaporkan ke Kepala Sekolah!”


Ketika saya tanyakan apa konsekuensi yang mereka terima kalau mereka ketahuan bawa hp? Para santri perempuan ini rata-rata menjawab bahwa mereka akan rugi sendiri karena hp tersebut akan disita dan itu berarti mereka tidak bisa menggunakannya dalam waktu lama.

Para santri baru bebas menggunakan hp apabila mereka pulang ke rumah masing-masing. Tika, salah seorang santri yang saya temui di Pondok Pesantren Banu Sanusi memegang handphone-nya yang berwarna putih dan sedang asyik ber-SMS dengan beberapa temannya. Kebetulan malam itu saya bertemu dengan Tika di Taman Budaya NTB. Tika dan beberapa teman serta gurunya datang untuk menyaksikan film mereka berkompetisi di Lombok Indie Film Festival 2010. Tika bercerita kepada saya bahwa saat liburan sekolah ia selalu pulang ke rumah. “Sangat menyenangkan karena setelah berbulan-bulan di pondok akhirnya bisa ketemu dengan keluarga. Saya bisa nonton televisi dan bisa menggunakan hp sepuasnya selama liburan ini,” ceritanya.***

Semua foto oleh Yuli Andari Merdikaningtyas